Selasa, 01 November 2016

MAKALAH

BIOLOGI DASAR MANUSIA

Nama Kelompok :

1. AGUSTI PURNAMA SARI

2.ERIKA PUTRI

3. FHIYONITA OKTARIANIE. S

4. INTAN DWI PRATIKA

5..INTAN DWI PUSPITA SARI

6.LUKY FEBRYANI

7. MIA ROZA MENTARI

8. NADHYIFA

9. RIRIN DWI ANGGITA PRATIWI

10. SEKAR AYU WULANDARY

11. SEPTI ANGRAINI

Kelas : IB (D3 KEBIDANAN)

Dosen Pembimbing : SUNITA RS, SKM.,M.Sc

POLTEKES KEMENKES BENGKULU

TAHUN AKADEMIK 2016

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat, ridho dan hidayah-Nya lah sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami ini.

Tak lupa pula, sholawat beriring salam kami kirimkan kepada junjungan Nabi Besar Muhammad SAW, yang telah membawa kita semua ke zaman yang terang benderang seperti sekarang.

Kami juga mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu kami dalam penyelesaian makalah ini. Terutama kepada dosen pembimbing kami, Bunda SUNITA RS, SKM.,M.Sc

Kami menyadari bahwa memang makalah ini belum sempurna seutuhnya. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Terakhir pesan dari kami semoga makalah ini dapat dipahami dan selanjutnya dapat dimanfaatkan di bidang pendidikan dan dunia kerja, serta bermanfaat untuk pembangunan kesehatan bangsa ini.

Bengkulu, September 2016

Penulis

MENGENAL MALARIA PADA IBU HAMIL

NAMA : AGUSTI PURNAMA SARI

NIM : PO 5140116 042

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Istilah malaria diambil dari dua kata Bahasa Italia, yaitu mal (buruk) dan area (udara) atau udara buruk. Karena dahulu banyak terdapat di daerah rawa-rawa yang mengeluarkan bau busuk.Malaria adalah penyakit infeksi parasite yang disebabkan oleh Plasmodium yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual di dalam darah. Infeksi malaria ini memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan splenomegaly. Dapat berlangsung akut ataupun kronik (Paul N. Harijanto, 2006).

Malaria adalah penyakit menular endemik di banyak daerah hangat di dunia, disebabkan oleh protozoa obligat seluler genus Plasmodium, biasanya ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi. Penyakit ini ditandai dengan keadaan ta berdaya dengan demam tinggi paroksismal, serangan menggigil, berkeringat, anemia dan splenomegaly yang dapat menyebabkan kematian, sering menyebabkan komplikasi berat, malaria selebral dan anemia. Interval antara tiap serangan kadangkala periodik, ditentukan oleh waktu yang diperlukan untuk berkembangnya satu generasi baru parasit di dalam tubuh. Setelah permulaan penyakit ini, dapat diikuti perjalanan penyakit yang kronik atau baik. Disebut juga plaudism. Nama lamanya mencakup ague dan jungle, malarial (Kamus Kedokteran DORLAND, edisi 29, hal. 1279).

Malaria Falciparum adalah malaria yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum, dengan demam paroksismal yang ireguler. Ini dihubngkan dengan keadaan parasite tertinggi dalam darah dan merupakan bentuk malaria terparah, kadang fatal. Malaria ini sering dikaitkan dengan gejala pernisiosa, yang terjadi sebagai akibat penumpukkan dan pembentukkan mikroinfark dalam kapiler yang mengandung eritrosit yang terinfeksi Plasmodium falciparum stadium lanjut. Ini dapat terjadi pada otak, hati, kelenjar adrenal, traktus gastroin testinal, ginjal, paru, atau organ lain. Disebut juga malignant tertian malaria dan pernicious malaria (Kamus Kedokteran DORLAND, edisi 29, hal. 1279).

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pembagian malaria

Ada empat tipe plasmodium parasit yang dapat meng-infeksi manusia, namun yang seringkali ditemui pada kasus penyakit malaria adalah Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax. Lainnya adalah Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae.

2.2 Tanda dan Gejala Penyakit malaria

Masa tunas / inkubasi penyakit ini dapat beberapa hari sampai beberapa bulan yang kemudian barulah muncul tanda dan gejala yang dikeluhkan oleh penderita seperti demam, menggigil, linu atau nyeri persendian, kadang sampai muntah, tampak pucat / anemis, hati serta limpa membesar, air kencing tampak keruh / pekat karena mengandung Hemoglobin(Hemoglobinuria), terasa geli pada kulit dan mengalami kekejangan.

Namun demikian, tanda yang klasik ditampakkan adalah adanya perasaan tiba-tiba kedinginan yang diikuti dengan kekakuan dan kemudian munculnya demam dan banyak berkeringat setelah 4 sampai 6 jam kemudian, hal ini berlangsung tiap dua hari. Diantara masa tersebut, mungkin penderita merasa sehat seperti sediakala. Pada usia anak-anak serangan malaria dapat menimbulkan gejala aneh, misalnya menunjukkan gerakan / postur tubuh yang abnormal sebagai akibat tekanan rongga otak. Bahkan lebih serius lagi dapat menyebabkan kerusakan otak.

Gejala biasanya mulai timbul dalam waktu 10-35 hari setelah parasit masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan nyamuk. Gejala awalnya seringkali berupa demam ringan yang hilang-timbul, sakit kepala, sakit otot dan menggigil, bersamaan dengan perasaan tidak enak badan (malaise). Kadang gejalanya diawali dengan menggigil yang diikuti oleh demam.
Gejala ini berlangsung selama 2-3 hari dan sering diduga sebagai gejala flu.

Gejala berikutnya dan pola penyakitnya pada keempat jenis malaria ini berbeda:
Pada malaria falciparum bisa terjadi kelainan fungsi otak, yaitu suatu komplikasi yang disebut malaria serebral. Gejalanya adalah demam minimal 40?Celsius, sakit kepala hebat, mengantuk, delirium (mengigau) dan linglung. Malaria serebral bisa berakibat fatal. Paling sering terjadi pada bayi, wanita hamil dan pelancong yang baru datang dari daerah malaria.
Pda malaria vivax, mengigau bisa terjadi jika demamnya tinggi, sedangkan gejala otak lainnya tidak ada. Pada semua jenis malaria, jumlah sel darah putih total biasanya normal tetapi jumlah limfosit dan monosit meningkat. Jika tidak diobati, biasanya akan timbul jaundice ringan (sakit kuning) serta pembesaran hati dan limpa.
Kadar gula darah rendah dan hal ini lebih berat pada penderita yang di dalam darahnya mengandung lebih banyak parasit. Kadar gula darah bahkan bisa turun lebih rendah pada penderita yang diobati dengan kuinin.

Jika sejumlah kecil parasit menetap di dalam darah, kadang malari bersifat menetap.
Gejalanya adalah apati, sakit kepala yang timbul secara periodik, merasa tidak enak badan, nafsu makan berkurang, lelah disertai serangan menggigil dan demam.
Gejala tersebut sifatnya lebih ringan dan serangannya berlangsung lebih pendek dari serangan pertama.

Blackwater fever adalah suatu komplikasi malaria yang jarang terjadi.
Demam ini timbul akibat pecahnya sejumlah sel darah merah. Sel yang pecah melepaskan pigmen merah (hemoglobin) ke dalam aliran darah. Hemoglobin ini dibuang melalui air kemih dan merubah warna air kemih menjadi gelap. Blackwater fever hampir selalu terjadi pada penerita malaria falciparum menahun, terutama yang mendapatkan pengobatan kuinin.

2.3 Gejala & pola malaria

  1. Malaria Vivax & Ovale. Suatu serangan bisa dimulai secara samar-samar dengan menggigil, diiukuti berkeringat dan demam yang hilang-timbul.
    Dalam 1 minggu, akan terbentuk pola yang khas dari serangan yang hilang timbul. Suatu periode sakita kepala atau rasa tidak enak badan akan diikuti oleh menggigil. Demam berlangsung selama 1-8 jam. Setelah demam reda, penderita merasakan sehat sampai terjadi menggigil berikutnya. Pada malaria vivax, serangan berikutnya cenderung terjadi setiap 48 jam.
  2. Malaria falciparum. Suatu serangan bisa diawali dengan menggigil. Suhu tubuh naik secara bertahap kemudian tiba-tiba turun. Serangan bisa berlangsung selama 20-36 jam.Penderita tampak lebih sakit dibandingkan dengan malaria vivax dan sakit kepalanya hebat. Diantara serangan (dengan selang waktu 36-72 jam), penderita biasanya merasa tidak enak badan dan mengalami demam ringan.
  3. Malaria malariae. Suatu serangan seringkali dimulai secara samar-samar.
    Serangannya menyerupai malaria vivax dengan selang waktu antara dua serangan adalah 72 jam.


2.4 Diagnosa

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejalanya, dimana terjadi serangan demam dan menggigil secara periodik tanpa penyebab yang jelas. Dugaan malaria semakin kuat jika dalam waktu 1 tahun sebelumnya, penderita telah mengunjungi daerah malaria dan pada pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran limpa. Untuk memperkuat diagnosis dilakukan pemeriksaan darah guna menemukan parasit penyebabnya. Mungkin perlu dilakukan beberapa kali pemeriksaan karena kadar parasit di dalam darah bervariasi dari waktu ke waktu. Pengobatan, komplikasi dan prognosis dari malaria ditentukan oleh jenis parasit penyebabnya.


2.5 Pengobatan

Pengobatan malaria tergantung kepada jenis parasit dan resistensi parasit terhadap klorokuin .Untuk suatu serangan malaria falciparum akut dengan parasit yang resisten terhadap klorokuin , bisa diberikan kuinin atau kuinidin secara intravena.
Pada malaria lainnya jarang terjadi resistensi terhadap klorokuin , karena itu biasanya diberikan klorokuin dan primakuin

2.6 Pencegahan

Orang-orang yang tinggal di daerah malaria atau yang mengadakan perjalanan ke daerah malaria bisa melakukan hal-hal berikut:

· Menggunakan semprotan pembasmi serangga di dalam dan di luar rumah

  • Memasang tirai di pintu dan jendela
  • Memasang kawat nyamuk
  • Mengoleskan obat anti nyamuk di kulit

· Mengenakan pakaian yang menutupi tubuh sehingga mengurangi daerah tubuh yang digigit nyamuk.

Obat-obatan bisa diminum untuk mencegah malaria selama melakukan perjalanan ke daerah malaria. Obat ini mulai diminum 1 minggu sebelum perjalanan dilakukan, dilanjutkan selama tinggal di daerah malaria dan 1 bulan setelah meninggalkan daerah malaria.
Obat yang paling sering digunakan adalah klorokuin . Tetapi banyak daerah yang memiliki spesies Plasmodium falciparum yang sudah resisten terhadap obat ini.
Obat lainnya yang bisa digunakan adalah meflokuin dan doksisiklin. Doksisiklin tidak boleh diberikan kepada anak-anak dibawah usia 8 tahun dan wanita hamil. Beberapa hal yang perlu diingat mengenai malaria:

· Obat-obat yang digunakan dalam tindakan pencegahan tidak 100% efektif

· Gejalanya bisa timbul 1 bulan atau lebih setelah gigitan nyamuk

· Gejala awalnya tidak spesifik dan seringkali disalahartikan sebagai influenza

· Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting, terutama pada malaria falciparum, yang bisa berakibat fatal pada lebih dari 20% penderita.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Ada empat tipe plasmodium parasit yang dapat meng-infeksi manusia, namun yang seringkali ditemui pada kasus penyakit malaria adalah Plasmodium falciparum and Plasmodium vivax. Lainnya adalah Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae.

Pengobatan malaria tergantung kepada jenis parasit dan resistensi parasit terhadap klorokuin. Untuk suatu serangan malaria falciparum akut dengan parasit yang resisten terhadap klorokuin, bisa diberikan kuinin atau kuinidin secara intravena.

Pada malaria lainnya jarang terjadi resistensi terhadap klorokuin, karena itu biasanya diberikan klorokuin dan primakuin

PENYEBAP MALARIA PADA IBU HAMIL

NAMA : ERIKA PUTRI

NIM : PO 5140116 048

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

Pengaruh malaria terhadap ibu hamil

Malaria merupakan salah satu penyakit yang mudah berkembang di daerah tropis sepertiIndonesia. Malaria bisa menyerang siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Bahkan, Ibu hamil pun mudah terserang malaria karena biasanya sistem imunnya mudah menurun. Malaria adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh parasit dari genus Plasmodium yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina.

Gejala
Malaria ditandai dengan beberapa gejala, antara lain:

  • Demam.
  • Menggigil.
  • Berkeringat.
  • Sakit kepala.
  • Anemia .
  • Pembesaran limfa sehingga terasa sakit.
  • Mual.
  • Muntah.
  • Nyeri pada tulang.
  • Lemah dan letih.
  • Nafsu makan menurun.
  • Perut kembung.
  • Diare.
  • Sembelit.
  • Bibir kering, muka pucat.
  • Kejang-kejang .

Malaria pada Ibu hamil harus ditangani secara serius secara medis. Apabila tidak mendapatkan perawatan maka akan dapat membahayakan kesehatan Ibu hamil dan janinnya. Berikut ini pengaruh penyakit malaria terhadap kesehatan Ibu hamil dan janin.

  • Anemia pada Ibu hamil.
  • Edema paru akut pada Ibu hamil.
  • Malaria serebral pada Ibu hamil.
  • Sepsis (keracunan darah) pada Ibu hamil.
  • Hipogiklemia, yaitu kadar gula darah (glukosa) Ibu hamil sangat rendah (abnormal).
  • Kematian pada Ibu hamil.
  • Malaria bawaan pada janin.
  • Gangguan pertumbuhan dan perkembangan janin.
  • Kontraksi rahim.
  • Bayi lahir prematur.
  • Bayi lahir dengan berat kurang.
  • Bayi lahir mati.
  • Keguguran (abortus).

Efek negatif gigitan nyamuk Anopheles ini sangatlah membahayakan kesehatan Ibu hamil dan janin. Karena itu, sebisa mungkin diupayakan agar Ibu hamil jangan sampai terkena gigitan nyamuk, baik nyamuk penyebab malaria maupun demam berdarah. Di bawah ini beberapa tips bagi Anda dalam menjaga tubuh agar aman dari serangan gigitan nyamuk:

  1. Memakai pakaian (atasan dan bawahan) yang berlengan panjang dan menutup kaki.
  2. Tidur dengan menggunakan kelambu yang telah dicelup insektisida.
  3. Memakai lotion penolak nyamuk.
  4. Memakai obat nyamuk, baik elektrik, bakar, ataupun semprot.
  5. Pasang kawat nyamuk pada pintu dan jendel rumah agar nyamuk tidak mudah masuk ke dalam rumah.

Nyamuk merupakan salah satu serangga yang membawa penyakit berbahaya bagi manusia. Jadi, usahakan untuk selalu mencegah gigitan nyamuk dengan menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar, meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan rajin mengonsumsi makanan bernutrisi, minum air putih (cukup asupan cairan), dan cukup beristirahat. Selain itu, selalu rawat kehamilan dengan rutin memeriksakan kesehatan Anda dan janin ke dokter. Namun, apabila Anda merasakan beberapa gejala malaria seperti yang sudah diuraikan di atas maka Anda harus segera memeriksakan ke dokter untuk mendapatkan penanganan medis. Semoga bermanfaat.

Malaria Dalam Kehamilan

Interaksi antara Malaria dengan Kehamilan

Malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi. Perubahan fisiologis dalam kehamilan kehamilan dan perubahan patologis akibat malaria mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing, sehingga semakin menambah masalah baik bagi ibu hamil, janinnya maupun dokter yang menanganinya. P. falciparum dapat menyebabkan keadaan yang memburuk dan dramatis untuk ibu hamil. Primigravida umumnya paling mudah terpengaruh oleh malaria, berupa anemia, demam, hipoglikemia, malaria serebral, edema pulmonar, sepsis puerperalis dan kematian akibat malaria berat dan hemoragis.2 Masalah pada bayi baru lahir adalah berat lahir rendah, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat , infeksi malaria dan kematian.2

Tabel l. Malaria dalam Kehamilan: Masalah yang berlipat ganda

Lebih sering terjadi

Malaria lebih sering terjadi dalam kehamilan daripada populasi umum. Penyebabnya kemungkinan karena adanya imunosupresi dan hilangnya acquired immun selama kehamilan

Gejala lebih Atipik

Dalam kehamilan, malaria cenderung menampakkan gejala atipik yang mungkin disebabkan adanya perubahan hormonal, imunologis dan hematologis selama kehamilan.

Lebih Berat

Disebabkan perubahan hormonal dan imunologis koloni parasit cenderung membesar 10 kali lilpat sehingga semua komplikasi P.falciparum lebih sering terjadi selama kehamilan.

Lebih Fatal

P.falciparum malaria dalam kehamilan cenderung lebih berat, dengan tingkat infeksius l3% lebih tinggi daripada saat tidak hamil

Terapi harus selektif

Sejumlah anti malaria merupakan kontra indikasi diberikan saat hamil dan seringkali menimbulkan efek samping yang berat. Oleh karena itu terapinya sering sulit, terutama infeksi malaria berat yang disebabkan P. falciparum.

Masalah lain

Penanganan komplikasi malaria sering sulit karena pengaruh perubahan fisiologis selama kehamilan. Harus dilakukan pengawasan ketat terhadap pemberian cairan, kontrol suhu dll. Keputusan untuk terminasi kehamilan juga sering dipersulit oleh risiko kematian janin, pertumbuhan janin terhambat dan ancaman persalinan prematur.

Sumber: (2)

Patofisiologi

Patofisiologi malaria dalam kehamilan sangat dipengaruhi oleh perubahan sistem imunologis oleh adanya organ baru yaitu plasenta.Terjadi penurunan sistem imunitas didapat yang dramatis selama kehamilan, terutama pada nulipara. (Efek imunitas antimalaria ditransfer kepada janin)

Terdapat sejumlah hipotesa yang menjelaskan patofisiologi malaria dalam kehamilan, yaitu:

Hipotesis -l:

Hilangnya kekebalan antimalaria secara konsisten berhubungan dengan terjadinya imunosupresi selama kehamilan misalnya: penurunan respon limfoproliferatif, peningkatan level kortisol serum. Hal ini dikondisikan untuk mencegah penolakan terhadap janin.Akan tetapi, kejadian ini tidak menurunkan reaksi imunologis pada ibu multigravida yang pernah menderita malaria.

Hipotesis -2:

Apakah yang hilang adalah cell mediated immunity saja, atau transfer antibodi mediated immunity secara pasif juga terganggu sehingga ibu hamil mudah terkena malaria?

Hipotesis -3: plasenta adalah organ yang baru bagi seorang primigravida sehingga memungkinan adanya imunitas host yang langsung menerobos atau adanya zat tertentu pada plasenta yang memudahkan P. falciparum untuk memperbanyak diri.

Peran plasenta, suatu organ baru saat hamil:

P. falciparum mempunyai kemampuan unik untuk melakukan cytoadhesion dan adhesion molecules spesifik terhadap CD 36 dan intercellular adhesion molecul-l yang mungkin terlibat dalam proses infeksi malaria yang berat pada anak dan wanita dewasa yang tidak hamil. Chondroitin sulfat A dan asam…… diketahui merupakan molekul perekat untuk membantu melekatnya parasit ke sel.

Gejala klinik

Selama kehamilan lebih dari setengah kasus malaria bermanifestasi atipik/tidak khas,

Demam :

Pasien dapat mengeluhkan bermacam-macam pola demam, mulai dari afebris, demam tidak terlalu tinggi yang terus menerus hingga hiperpireksia. Pada trimester kedua kehamilan gambaran atipik lebih sering terjadi karena proses imunosupresi.

Anemia :

Di negara berkembang, yang merupakan endemis malaria, anemia merupakan gejala yang sering ditemukan selama kehammilan. Penyebab utama anemia adalah malnutrisi dan kecacingan. Dalam kondisi seperti ini, malaria akan menambah berat anemia. Malaria bisa bermanifestasi sebagai anemia, sehingga semua kasus anemia harus diperiksa kemungkinan malaria.Anemia merupakan gambaran klinik yang sering ditemukan pada pasien multigravida dengan imunitas parsial yang hidup di daerah hiperendemis.

Splenomegali :

Pembesaran limpa bisa terjadi , dan menghilang pada trimester dua kehamilan. Bahkan splenomegali yang menetap sebelum hamil bisa mengecil selama kehamilan.

Komplikasi:

Komplikasi cenderung lebih sering dan lebih berat selama kehamilan.Komplikasi yang sering timbul dalam kehamilan adalah edema paru, hipoglikemia dan anemia.Komplikasi yang lebih jarang adalah kejang, penurunan kesadaran, koma, muntaber dan lain-lain.

Komplikasi malaria dalam kehamilan

Anemia:

Malaria dapat menyebabkan atau memperburuk anemia. Hal ini disebabkan:

  1. Hemolisis eritrosit yang diserang parasit
  2. Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
  3. Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat.

Anemia yang disebabkan oleh malaria lebih sering dan lebih berat antara usia kehamilan 16-29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya dapat memperberat anemia ini.

Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas serta mortalitas maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan perdarahan pasca salin.

Anemia yang signifikan (Hb <7-8gr%) harus ditangani dengan transfusi darah. Sebaiknya diberikan packed red cells daripada whole blood untuk mengurangi tambahan volume intravaskuler. Transfusi yang terlalu cepat, khususnya whole blood dapat menyebabkan edema paru.

Edema paru akut

Edema paru akut adalah komplikasi malaria yang lebih sering terjadi pada wanita hamil daripada wanita tidak hamil. Keadaan ini bisa ditemukan saat pasien datang atau baru terjadi setelah beberapa hari dalam perawatan. Kejadiannya lebih sering pada trimester 2 dan 3.

Edema paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan adanya perubahan hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat meningkatkan risiko mortalitas.

Hipoglikemia

Keadaan ini juga anehnya merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dalam kehamilan. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya hipoglikemia adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatnya kebutuhan glukosa karena keadaan hiperkatabolik dan infeksi parasit
  2. Sebagai respon terhadap starvasi/kelaparan
  3. Peningkatkan respon pulau-pulau pankreas terhadap stimulus sekresi (misalnya guinine) menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia dan hipoglikemia.

Hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat tetap asimtomatik dan dapat luput terdeteksi karena gejala-gejala hipoglikemia juga menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat, menggigil dll. Akan tetapi sebagian pasien dapat menunjukkan tingkah laku yang abnormal, kejang, penurunan kesadaran, pingsan dan lain-lain yang hampir menyerupai gejala malaria serebral. Oleh karena itu semua wanita hamil yang terinfeksi malaria falciparum, khususnya yang mendapat terapi quinine harus dimonitor kadar gula darahnya setiap 4-6 jam sekali. Hipoglikemia juga bisa rekuren sehingga monitor kadar gula darah harus konstan dilakukan.

Kadang-kadang hipoglikemia dapat berhubungan dengan laktat asidosis dan pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat. Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada tanda-tanda yang spesifik.

Imunosupresi

Imunosupresi dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang terjadi menjadi lebih sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria sendiri dapat menekan respon imun.

Perubahan hormonal selama kehamilan menurunkan sintesis imunoglobulin,

Penurunan fungsi sistem retikuloendotelial adalah penyebab imunosupresi dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan hilangnya imunitas didapat terhadap malaria sehingga ibu hamil lebih rentan terinfeksi malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih berat dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering mengalami demam paroksismal dan relaps.

Infeksi sekunder (Infeksi saluran kencing dan pneumonia) dan pneumonia algid (syok septikemia) juga lebih sering terjadi dalam kehamilan karena imunosupresi ini.

Risiko Terhadap Janin

Malaria dalam kehamilan adalah masalah bagi janin. Tingginya demam, insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain dapat menimbulkan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P. vivax dan P. falciparum dapat menimbulkan masalah bagi janin, akan tetapi jenis infeksi P. falciparum lebih serius.(Dilaporkan insidensinya mortalitasnya l5,7% vs 33%) Akibatnya dapat terjadi abortus spontan, persalinan prematur, kematian janin dalam rahim, insufisiensi plasenta, gangguan pertumbuhan janin (kronik/temporer), berat badan lahir rendah dan gawat janin. Selain itu penyebaran infeksi secara transplasental ke janin dapat menyebabkan malaria kongenital.

Malaria kongenital

Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada <5% kehamilan. Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus plasenta dapat melindungi janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada populasi non imun dapat terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan epidemi malaria. Kadar quinine plasma janin dan klorokuin sekitar l/3 dari kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang lebih sering adalah P. malariae. Neonatus dapat menunjukan adanya demam, iritabilitas, masalah minum, hepatosplenomegali, anemia, ikterus dll. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja dalam satu minggu pascanatal. Diferensial diagnosisnya adalah inkompatibilitas Rh, infeksi CMV, Herpes, Rubella, Toksoplasmosis dan sifilis.

Pregnancy malaria dan intensitas transmisinya

Manifestasi klinik malaria dalam kehamilan berbeda antara daerah dengan transmisi rendah dengan transmisi tinggi karena berbedanya tingkat imunitas. Pada daerah endemik, imunitas yang didapat tinggi sehingga mortalitas jarang terjadi, sering asimtomatik dan juga jarang terjadi parasitemia. Sekuestrasi plasmodium di plasenta dan terjadi plasenta malaria, sedangkan hasil pemeriksaan plasmodium di darah tepi seringkali negatif. Parasitemia yang berat terjadi terutama pada trimester 2 dan 3, anemia dan gangguan integritas plasenta meyebabkan berkurangnya hantaran nutrisi ke janin sehingga menyebabkan berat lahir rendah, abortus, kematian janin dalam rahim, persalinan prematur dan semakin meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada janin. Masalah ini lebih sering terjadi pada kehamilan pertama dan kedua karena kadar parasitemia akan menurun pada kehamilan2 berikutnya. Strategi penanganan malaria pada ibu hamil di area dengan transmisi tinggi adalah terapi intermiten dan pemakaian kelambu berinsektisida.

Di daerah dengan transmisi rendah, masalahnya sangat berbeda. Risiko malaria dalam kehamilan lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian maternal serta abortus spontan pada >60% kasus. Berat lahir rendah dapat terjadi walaupun telah diterapi; namun malaria yang asimtomatik jarang terjadi. Strategi penanganannya adalah pencegahan dengan kemoprofilaksis, deteksi dini dan pengobatan yang adekuat.

Penatalaksanaan Malaria dalam Kehamilan

Ada 3 aspek yang sama pentingnya untuk menangani malaria dalam kehamilan, yaitu:

  1. Pengobatan malaria
  2. Penanganan komplikasi
  3. Penanganan proses persalinan

Terapi Malaria

Terapi malaria dalam kehamilan harus energetik, antisipatif dan seksama(careful)

Energetik : Tidak membuang-buang waktu, lebih baik memperlakukan semua kasus sebagai kasus malaria falciparum, dan memeriksa tingkat keparahan penyakit dengan melihat keadaan umum, pucat, ikterus, tekanan darah, suhu, hemoglobin, hitung parasit, SGPT, bilirubin dan kreatinin serum serta glukosa darah.

Antisipatif : malaria dalam kehamilan dapat tiba-tiba memburuk dan menunjukkan komplikasi yang dramatik. Oleh karena itu harus dilakukan monitoring ketat serta me nilai kemungkinan timbulnya komplikasi pada setiap pemeriksaan/visite rutin.

Seksama : Perubahan fisiologis dalam kehamiklan menimbulkan masalah yang khusus dalam penanganan malaria. Selain itu, sejumlah obat anti malaria merupakan kontraindikasi untuk kehamilan atau dapat menimbulkan efek samping yang berat. Semua faktor tersebut harus selalu dipertimbangkan saat memberikan terapi pada pasien-pasien malaria dengan kehamilan.

  • Pilih obat yang sesuai dengan tingkat keparahan penyakit dan pola sensitivitas di daerah tersebut (terapi empiris)
  • Hindari obat yang menjadi kontra indikasi
  • Hindari kelebihan/kekurangan dosis obat
  • Hindari pemberian cairan yang berlebihan/kurang.
  • Pertahankan asupan kalori yang adekuat.

Antimalaria dalam kehamilan

  • Semua trimester : quinine: Artesunate/artemether/arteether
  • Trimester dua : mefloquine; pyrimethamine/sulfadoxine
  • Trimester tiga : sama dengan trimester 2
  • Kontraindikasi : primaquine; tetracycline; doxycycline; halofantrine

PENGARUH MALARIA SELAMA KEHAMILAN DI SUMATERA

NAMA : FHIYONITA OKTARIANIE.S

NIM : PO 5140116 051

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang


Kejadian malaria sangat ditentukan oleh faktor karakteristik populasi lokal spesifik, antara lain manusia, nyamuk, lingkungan, kegiatan pembangunan dan proses kegiatan ekonomi. Pada setiap daerah, situasi kejadian malaria sangat bervariasi, tergantung faktor apa yang paling dominan. Letak geografis, lingkungan ekologi dan sosial budaya masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi penyebarannya. Faktor-faktor ekologis umumnya sangat dominan sebagai penentu prevalensi dan insidensi malaria pada suatu wilayah endemis malaria (Mardihusodo dalam Santoso, 2006).

Kabupaten Mandailing Natal secara geografis terletak di bagian selatan Provinsi Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Riau dengan luas wilayah sekitar 6620,70 km. Kabupaten Mandailing Natal dibagi menjadi 17 wilayah kecamatan dengan 322 desa. Kabupaten Mandailing Natal mempunyai 8 kecamatan dengan kondisi geografis yang luas terdiri dari hutan lebat, rawa-rawa, sungai-sungai dan sawah (Dinkes Kabupaten Mandailing Natal, 2006). Jumlah Penderita malaria positif di Kabupaten Mandailing Natal sebagai daerah endemis malaria dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2012 jumlah penderita malaria positif sebanyak 7.901 orang (Dinkes Mandailing Natal, 2012), kemudian pada tahun 2013 jumlah penderita malaria positif mengalami penurunan yaitu sebanyak 6.858 orang dan pada tahun 2014 jumlah penderita sebanyak 4.622 orang (Kantor Pusat Penanggulangan Malaria Mandailing Natal, 2013)

Dari seluruh kecamatan di Kabupaten Mandailing Natal, pada tahun 2014 penderita malaria paling tinggi kedua terdapat di Kecamatan Siabu dengan kejadian malaria disertai pemeriksaan sediaan darah sebanyak 589 kasus. Sedangkan kecamatan dengan kejadian malaria tertinggi terdapat di Kecamatan Penyabungan Kota dengan jumlah penderita dengan sediaan darah sebanyak 1803 kasus (Dinkes Kab. Mandailing Natal, 2014).

Kecamatan Siabu pada tahun 2013 termasuk daerah dengan tingkat endemisitas malaria tinggi (High insidens Area) yang diukur dengan indikator API yaitu Jumlah penderita Positif Malaria dalam 1 tahun > 50 kasus per 1.000 penduduk sebesar 23,1‰.

Lingkungan fisik, lingkungan biologis dan sosial budaya masyarakat merupakan faktor yang mempengaruhi penyebaran penyakit malaria, demikian pula dengan kondisi lingkungan Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal, merupakan daerah yang sangat potensial untuk tempat perindukan nyamuk Anopheles sp. Dilihat dari letak geografisnya Kabupaten Mandailing Natal terletak antara 00100 - 10500 Lintang Utara dan 980500 - 1000100 Bujur Timur dan ketinggian antara 400-700 m. Beberapa daerah di Kabupaten Mandailing Natal ini terdapat parit/saluran irigasi, sungai, sawah dan rawa-rawa serta kolam ikan yang dapat menjadi habitat paling disenangi nyamuk Anopheles sp. Hasil penelitian Irnawati (2008) menjelaskan bahwa nyamuk An. sundaicus, An. nigerrimus dan An. kochi merupakan vektor malaria di Desa Sihepeng Kecamatan Siabu Kabupaten Mandailing Natal dan banyak ditemukan di sawah, kolam, saluran irigasi dan bekas galian pasir di sungai

Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penanggulangan Malaria Kabupaten Mandailing Natal pada tahun 2013 menjelaskan bahwa jenis nyamuk yang ada di Kecamatan Siabu tidak berubah dari tahun ke tahun, yaitu mayoritas An. Sundaicus, An. kochi dan An. Nigerrimus. Hal ini sesuai dengan kondisi lingkungan di Kecamatan Siabu yang terdiri dari sawah, kolam dan terdapat aliran sungai.

Penelitian Rofiqoh (2014) menunjukkan bahwa faktor lingkungan fisik rumah meliputi kerapatan dinding, pemakaian kawat kasa pada ventilasi, langit-langit, pencahayaan dan kelembapan berhubungan dengan kejadian malaria. Hal ini juga didukung oleh penelitian Nainggolan (2012) dimana faktor lingkungan memiliki pengaruh yang bermakna terhadap kejadian penyakit malaria.

Keadaan ekosistem setempat sangat mendukung berkembangbiaknya nyamuk sepanjang tahun, karena ditemukan tempat berkembangbiak yang potensial yaitu sawah, saluran irigasi, sungai dan kolam-kolam ikan yang dijadikan penduduk sebagai tambahan mata pencaharian.

Tingginya kejadian malaria juga dipengaruhi oleh perilaku masyarakat setempat. Hal ini sesuai dengan penelitian Inraini (2012) yang mengatakan bahwa penduduk yang melakukan pencegahan malaria terlindungi dari kejadian malaria. Perilaku lainnya adalah kebiasaan keluar malam, dimana masyarakat yang tidak biasa keluar malam tidak mendapat penyakit malaria.

Hal ini sejalan dengan dengan penelitian Dasril (2005) yang menyatakan bahwa ada hubungan perilaku masyarakat terhadap kejadian malaria. Masyarakat 7 yang memiliki pengetahuan yang rendah tentang penularan, pencegahan dan pengobatan malaria memiliki resiko menderita penyakit malaria (Afridah, 2009).

BAB II

PEMBAHASAN

Wanita hamil lebih mudah terinfeksi malaria dibanding dengan populasi umumnya. Selain mudah terinfeksi, wanita hamil juga mudah terinfeksi berulang hingga komplikasi berat, kehamilan memperberat penyakit malaria yang diderita, sebaliknya malaria akan berpengaruh pada kehamilan dan menyebabkan penyulit, baik terhadap ibu maupun janin yang dikandungnya sehingga meningkatkan kejadian morbiditas dan mortalilas ibu maupun janin.

Kehamilan diumur <20 atau >35 tahun merupakan kehamilan yang berisiko tinggi dibanding dengan kehamilan pada wanita yang berumur 20-35 tahun, hal tersebut dikarenakan kehamilan <20 tahun dinilai terlalu muda dimana secara fisik perkembangan organ reproduksi maupun fungsi fisiologi belum optimal dan secara mental belum siap menghadapi perubahan yang terjadi saat kehamilan, menjalankan peran sebagai ibu juga dalam menghadapi masalah- masalah rumah tangga. Kondisi mental dan fisik yang belum matang akan meningkatkan risiko terjadinya persalinan yang sulit dengan komplikasi medis diantaranya; keguguran, preeklamsia (tekanan darah tinggi), eklamsia (keracunan kehamilan) persalinan lama, bayi lahir prematur, perdarahan, BBLR yang berujung pada kematian ibu dan bayi.

Kehamilan >35 tahun dinilai terlalu tua karena pada usia tersebut faktor degenerative menyebabkan fungsi rahim mulai menurun begitu juga kondisi kesehatan ibu mulai yang ikut menurun yang tentu saja memberi risiko terjadinya kesulitan persalinan dengan komplikasi medis diantaranya; keguguran, preeklamsia (tekanan darah tinggi), eklamsia (keracunan kehamilan), kekuatan his berkurang, perdarahan, BBLR, yang berujung pada kematian ibu dan bayi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu hamil yang berumur <20 atau >35 tahun berisiko 1,293 kali terhadap kejadian malaria dibanding ibu hamil yang berumur 20-35 tahun, namun faktor risiko dianggap tidak bermakna secara statistik, sesuai dengan teori bahwa umur merupakan faktor intrinsik yang mempengaruhi manusia sebagai pejamu namun secara umum penyakit malaria tidak mengenal tingkat umur hal ini disebabkan karena penyakit malaria adalah penyakit yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi oleh plasmodium,artinya seseorang akan mudah terkena malaria apabila terjadi kontak berupa gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi plasmodium.

Hasil uji variabel pendidikan menjelaskan bahwa ibu hamil yang berpendidikan ≤ SMP/ sederajat (pendidikan rendah) berisiko 1,680 kali terhadap kejadian malaria dibandingkan ibu hamil yang berpendidikan ≥SMA/sederajat (pendidikan tinggi), namun faktor risiko dianggap tidak bermakna secara statistik, penelitian ini sejalan dengan penelitian Yawan S.F tentang analisis faktor risiko kejadian malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Bosnik Kecamatan Biak Timur Papua dengan hasil derajat kepercayaan 95% (0,98<OR<18,72) OR= 4,28.5 Namun tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lefaan A.M mengenai tingkat pendidikan yang terkaitkan pengetahuan terhadap kejadian malaria pada ibu hamil, memperoleh hasil; derajat kepercayaan (95%), CI=1,02-6,91 dan OR=2,66, artinya ibu hamil dengan pengetahuan kurang memiliki faktor risiko 2,66 kali lebih besar dari pada ibu hamil dengan pengetahuan cukup.

Perbedaan dalam penelitian ini disebabkan karena karena rata-rata pekerjaan yang dimiliki tidak mengharuskan memiliki pendidikan yang tinggi, dapat dilihat pada jenis pekerjaan ibu hamil dalam penelitian ini 74,3% adalah ibu rumah tangga dan sebagaimana diketahui pekerjaan ibu rumah tangga tidaklah mengharuskan seseorang untuk memiliki pendidikan yang baik, terlebih lagi budaya kawin muda dan pendapat tidak sekolah tinggipun rata-rata masyarakat menjadi petani sukses masih lekat dimiliki oleh masyarakat di daerah tersebut.

Hasil analisis ini menjelaskan bahwa ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Prafi Manokwari yang memiliki jumlah persalinan 0, 1 atau ≥4 memiliki risiko sebesar 1,148 kali terhadap kejadian malaria dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki jumlah persalinan 2 atau 3, karena lower limit dan upper limit mencakup angka satu maka risiko dianggap tidak bermakna secara statistik. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Adam I, et al tentang faktor risiko kejadian malaria falciparum pada ibu hamil di Sudan Timur yang membandingkan jumlah paritas dengan hasil derajat kepercayaan 95% (0,27<OR<46,2)OR=3,20 artinya paritas ibu tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kejadian malaria falciparum pada ibu hamil diwilayah Sudan Timur.

Paritas adalah jumlah persalinan yang pernah dialami ibu, paritas erat kaitannya dengan jarak kelahiran. Setelah melahirkan, tubuh secara fisiologis membutuhkan waktu sekurang-kurangnya 2 tahun untuk memulihkan kondisinya termasuk jumlah dan kualitas darah yang banyak hilang saat proses persalinan, juga masa laktasi yang menguras nutrisi ibu.

Mengacu pada kriteria "4 Terlalu", diantaranya kehamilan yang terlalu dekat dan kehamilan yang yang terlalu banyak. Kehamilan terlalu dekat adalah jarak antara kehamilan pertama dengan kehamilan berikiutnya kurang dari dari 2 tahun (24 bulan) dimana jarak kehamilan yang dianjurkan adalah 3 tahun (36 bulan). Jarak kehamilan yang kurang dari 2 tahun dapat menjadi penyulit dalam kehamilan seperti terjadinya anemia, kondisi rahim yang belum pulih, gangguan kekuatan kontraksi, kelainan letak dan posisi janin, perdarahan paska persalinan, waktu ibu menyusui dan merawat bayi menjadi berkurang dan memungkinkan risiko terjadinya keguguran, payah jantung, kelahiran prematur, BBLR, yang berujung pada kematian ibu dan bayi. Sedangkan kehamilan terlalu banyak adalah jumlah anak yang dilahirkan lebih dari 3 orang, kehamilan yang terlalu banyak tidak hanya menjadi beban dari segi ekonomi seperti anak kurang gizi, putus sekolah, kurang perhatian dan kasih sayang, serta mempengaruhi tumbuh kembang anak tetapi banyak menyebab risiko yang membahayakan kesehatan ibu dan bayi diantaranya keguguran, anemia, perdarahan hebat, preeklamsia (tekanan darah tinggi) plasenta previa (plasenta menghalangi jalan lahir), BBLR, prolapsus uteri (turunnya rahim melalui vagina) yang tentu saja berujung pada kematian ibu dan bayi.

Hasil uji OR untuk kunjungan ANC memberikan arti bahwa kunjungan ANC bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian malaria pada ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Prafi Manokwari, namun nilai lower limit dan upper limit mencakup angka satu, maka dianggap tidak bermakna secara statistik. Program pelayanan ANC di Puskesmas Prafi Manokwari, berjalan cukup baik dimana pada 16 desa yang menjadi Wilayah Kerja Puskesmas Prafi telah memiliki satu tenaga bidan yang bertanggung jawab dalam pelayanan ANC dan dibantu oleh satu orang kader, program yang dilaksanakan antara lain pengukuran tekanan darah, pemeriksaan leopold, pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ), pengukuran tinggi fundus, pemeriksaaan darah (Hb), pemberian susu ibu hamil, pembentukan kelas ibu hamil dan juga kerja sama lintas program dalam hal ini malaria, yaitu pembagian kelambu insektisida dan screening malaria.

Pelayanan ANC di Puskesmas Prafi Manokwari dilakukan setiap hari Senin dan Kamis, sementara hari Selasa dan Rabu pelayanan ANC dirangkaikan dengan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) berupa pemeriksaan, pemberian bahan makanan tambahan (BMT), penimbangan, imunisasi bayi dan balita dengan melakukan kunjungan ke beberapa daerah yang jauh dengan medan sulit dimana harus menyeberangi kali berarus deras yang belum memiliki jembatan serta tanah longsor yang memutuskan akses sehingga pelayanan dialihkan sementara ke balai desa. Pelayanan ANC kadang disertai screening malaria atau saat ibu hamil melakukan kunjungan dan ditemukan gejala klinis maka petugas langsung melakukan pemeriksaan laboratorium malaria, dengan harapan melalui kunjungan ANC ibu hamil dapat dengan segera mengetahui dan mendapatkan pengobatan malaria baik dengan gejala klinis maupun tanpa gejala klinis sehingga risiko terhadap kejadian anemia dan komplikasi lainnya yang membahayakan ibu dan kelangsungan hidup janin dapat dihindari. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Adam I, et al yang menyatakan bahwa ANC merupakan faktor risiko kejadian malaria falciparum pada ibu hamil di Sudan Timur.

Hasil penelitian dengan uji OR yang dilakukan terhadap variabel perilaku pencegahan dapat diartikan bahwa ibu hamil yang tidak melakukan minimal satu kali perilaku pencegahan malaria berisiko 2,774 kali terkena malaria dibandingkan ibu hamil yang melakukan minimal satu kali perilaku pencegahan malaria, beberapa perilaku masyarakat etnik Manokwari Papua Barat sangat baik dalam mengurangi popolasi nyamuk seperti lingkungan pekarangan rumah yang selalu bersih serta membakar sampah, juga membakar sabuk kelapa ataupun kerak telur pada petang hari, namun ada juga perilaku yang tidak baik seperti adanya kandang ternak yang sangat dekat dengan rumah, memelihara burung di dalam rumah, penampungan air yang tidak tertutup, jendela dan pintu rumah ditutup menjelang tidur malam serta kondisi alam yang mana masih banyaknya lahan kosong dan hutan yang dapat menjadi potensial perindukan nyamuk.

Sementara itu, pengguaan repellent masih sedikit dan penggunaan obat nyamuk bakar masih menjadi pilihan dengan alasan murah dan mudah didapat serta ampuh mematikan nyamuk, walaupun beberapa diantaranya juga tidak suka menggunakan obat anti nyamuk dengan alasan membuat sesak napas. Pendistribusian kelambu insektisida di wilayah ini sangat baik, hal ini terbukti saat wawancara rata-rata memperolah kelambu dari RT dan Puskesmas Prafi. Meski demikian beberapa ibu hamil mengatakan tidak suka menggunakan kelambu karena panas dan menghalangi bila ingin tidur sambil menonton TV. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ayi I, et al di Ghana tentang perlakuan kelambu insektisida menurunkan prevalensi kejadian malaria pada anak usia sekolah dari 30,9% menjadi 10,3%.8 Selain itu, Penelitian Harmendo di Kabupaten Bangka menyatakan bahwa orang yang ventilasi rumahnya tidak menggunakan kasa nyamuk memiliki risiko terkena malaria sebesar 6,5 kali dibandingkan orang yang ventilasi rumahnya menggunakan kasa nyamuk.9 Sedangkan penelitian Sarumpaet di Kabupaten Karo menyatakan bahwa warga yang rumah dan lingkungan rumahnya tidak melakukan penyemprotan anti nyamuk memiliki risiko 4,3 kali lebih besar terhadap kejadian malaria dibandingkan dengan warga yang melakukan penyemprotan anti nyamuk di rumah dan lingkungan rumahnya.

Hasil penelitian dengan uji OR yang dilakukan terhadap variabel perilaku kebiasaan berada diluar rumah malam hari memberikan arti bahwa ibu hamil di Wilayah Kerja Puskesmas Prafi Manokwari yang memiliki kebiasaan berada diluar rumah dengan frekuensi ≥2 kali berisiko 6,28 kali terkena malaria dibandingkan ibu hamil yang tidak pernah keluar rumah pada malam hari atau pernah keluar rumah pada malam hari dengan frekuensi <2 kali. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Afrisa yang menyatakan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan berada diluar rumah pada malam hari memiliki risiko terkena malaria sebesar 2,61 kali dibanding orang yang tidak mempunyai kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari.11 Perilaku etnik Papua di Manokwari tentang berada diluar rumah pada malam hari masih sangat lekat, mulai dari gobrol diteras, honay, para-para ataupun duduk di pinggir jalan raya untuk makan pinang, menyanyi dan ngobrol bahkan untuk meneguk minuman keras atau ampo, perilaku ini tidak khusus pada kelompok umur ataupun jenis kelamin tertentu, sementara nyamuk Anopheles lebih senang menggigit pada malam hari.

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa ibu hamil yang berumur <20 atau >35 tahun berisiko 1,293 kali terhadap kejadian malaria dibandingkan dengan ibu hamil yang berumur 20-35 tahun, tingkat pendidikan rendah atau SMP/sederajat berisiko 1,680 kali terhadap kejadian malaria dibandingkan dengan ibu hamil yang berpendidikan ≥ SMA/sederajat, jumlah persalinan 0, 1 atau ≥4 memiliki risiko 1,148 kali terhadap kejadian malaria dibandingkan dengan ibu hamil yang memiliki jumlah persalinan 2 atau 3. Faktor risiko dianggap tidak bermakna secara statisik. Kunjungan ANC bukan merupakan faktor risiko terhadap kejadian malaria pada ibu hamil. Ibu hamil yang tidak menggunakan kelambu, profilaksis, obat anti nyamuk, dan kasa pada ventilasi memiliki risiko 2,774 terhadap kejadian malaria dbandingkan dengan ibu hamil yang menggunakan kelambu, profilaksis, obat anti nyamuk, dan kasa pada ventilasi. Ibu hamil yang memiliki kebiasaan keluar rumah pada malam hari dengan frekuensi ≥2 kali memiliki risiko 3.078 terhadap kejadian malaria dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak memiliki kebiasaan diluar rumah pada malam hari atau keluar pada malam hari dengan frekuensi <2 kali di Wilayah Kerja Puskesmas Prafi Manokwari Papua Barat.

RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI MALARIA SELAMA KEHAMILAN

NAMA : INTAN DWI PRATIKA

NIM : PO 5140116 057

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

BAB I

Pendahuluan

Infeksi malaria sampai saat ini masih merupakan problem klinik di negara-negara berkem- bang terutama negara yang beriklim tropik, termasuk Indonesia. Di Indonesia penyakit mala- ria masih merupakan penyakit infeksi utama di kawasan Indonesia bagian Timur. Infeksi ini dapat menyerang semua masyarakat dari segala golongan, termasuk golongan yang paling rentan seperti wanita hamil (Tambajong EH, 2000).

Infeksi malaria pada kehamilan sangat merugikan baik bagi ibu dan janin yang dikandungnya, karena infeksi ini dapat meningkatkan kejadian morbiditas dan mortalitas ibu maupun janin. Pada ibu menyebabkan anemia, malaria serebral, edema paru, gagal ginjal bahkan dapat menyebabkan kematian. Pada janin menyebabkan abortus, persainan prema- tur, berat badan lahir rendah, dan kematian janin. Infeksi pada wanita hamil oleh parasit mala- ria ini sangat mudah terjadi, hal ini disebabkan oleh adanya perubahan sistim imunitas ibu selama kehamilan, baik imunitas seluler maupun imunitas humoral, serta diduga juga sebagai akibat peningkatan horman kortisol pada wanita selama kehamilan.Data-data yang dilaporkan oleh Steketee dkk tentang pengaruh buruk malaria pada kehamilan di daerah endemis malaria (Sub-Sahara Afrika)

Pembahasan

Respon Imun terhada Infeksi Malaria selama Kehamilan Respon imun spesifik terdiri dari imunitas seluler yang dilaksanakan oleh limfosit T dan imunitas humoral yang dilaksanakan oleh limfosit B.Limfosit T dibedakan menjadi limfosit T helper (CD4+) dan sitotoksik (CD8+) sedangkan berdasarkan sitokin yang dihasilkannya dibedakan menjadi subset Th-1 (menghasilkan IFN- γ dan TNF-α) dan subset Th-2 (menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, IL10). Sitokin tersebut berperan mengaktifkan imunitas humoral.CD4+ berfungsi sebagai regulator dengan membantu produksi antibodi dan aktifasi fagosit- fagosit lain sedangkan CD8+ berperan sebagai efektor langsung untuk fagositosis parasit dan menghambat perkembangan parasit dengan menghasilkan IFN-γ.1,3

Epitop-epitop antigen parasit akan berikatan dengan reseptor limfosit B yang berperan sebagai sel penyaji antigen kepada sel limfosit T dalam hal ini CD4+. Selanjutnya sel T akan berdeferensiasi menjadi sel Th-1 dan Th-2. Sel Th-2 akan meng- hasilkan IL-4 dan IL-5 yang memacu pembentukan lagi oleh limfosit B. tersebut juga meningkatkan kemampuan fagositosis makrofag. Sel Th-1 menghasilkan IFN-γ dan TNF-α yang mengaktifkan komponen imunitas seluler seperti makrofag dan monosit serta sel NK.

Wanita hamil memiliki kemungkinan terserang malaria falciparum lebih sering dan lebih berat dibandingkan wanita tidak hamil. Konsentrasi eritrosit yang terinfeksi parasit banyak ditemukan di plasenta sehingga diduga respon imun terhadap parasit di bagian tersebut mengalami supresi. Hal tersebut berhubungan dengan supresi sistim imun baik humoral maupun seluler selama kehamilan

Kesimpulan

Malaria dalam kehamilan merupakan masalah yang serius mengingat pengaruhnya terhadap ibu dan janin, yang bila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat dapat meningkatkan angka kematian ibu dan neonatal.Penanggulangan malaria dalam kehamilan dapat dimulai secara dini melalui kunjungan ANC dengan memberikan penyuluhan pendidikan esehatan tentang pencegahan malaria dan pengobatan profilaksis bagi yang tinggal di daerah endemis. Klorokuin masih merupakan obat terpilih untuk pengobatan malaria dalam kehamilan dan Kina untuk pengobatan malaria berat. Perlunya sistem pelayanan kesehatan yang berjenjang (rujukan) dari Puskesmas ke Rumah Sakit dengan fasilitas yang memadai untuk menangani kasus-kasus malaria berat dengan kompli sehubungan dengan keberadaan fetus sebagai "benda asing" di dalam tubuh ibu.

Supresi sistim imun selama kehamilan berhubungan dengan keadaan hormonal. Konsentrasi hormon progesteron yang meningkat selama kehamilan berefek menghambat aktifasi limfosit T terhadap stimulasi antigen. Selain itu efek imunosupresi kortisol juga berperan dalam menghambat respon imun.

GEJALA KELINIS MALARIA PADA IBU HAMIL

NAMA : INTAN DWI PUSPITA SARI

NIM : PO 5140116 058

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat dinegara-negara seluruh dunia, baik didaerah tropis maupun sub tropis, terutama dinegara berkembang termasuk Indonesia.Malaria masih menjadi ancaman bagi masyarakat di Indonesia, karena tingginya angka kesakitan dan kematian pada usia produktif. Bahkan malaria yang menyerang ibu hamil bisa menjadi ancaman bagi bangsa.

Penyakit malaria disebabkan oleh parasit protozoa dari Genus plasmodium. Empat spesies yang ditemukan pada manusia adalah Plasmodium Vivax, P. ovale, P. malariae dan P. Falciparum. Badan kesehatan seduania (WHO) melaporkan tiga juta anak manusia meninggal setiap tahun karena menderita malaria. Dan tiap tahun terdapat 110 juta penderita malaria, 280 juta orang sebagai "Carrier" dan 2/5 penduduk dunia selalu kompak dengan malaria (1,3,31).

Malaria menyerang individu tanpa membedakan umur dan jenis kelamin, tidak terkecuali wanita hamil merupakan golongan yang rentan. Malaria pada kehamilan dapat disebabkan oleh keempat spesies plasmodium, tetapi plasmodium Falciparum merupakan parasit yang dominan dan mempunyai dampak paling berat terhadap morbiditas dam mortalitas ibu dan janinnya (2,4,5).

Di daerah endemi malaria wanita hamil lebih mudah terinfeksi parasit malaria dibandingkan wanita tidak hamil. Kemudahan infeksi itu terjadi karena kekebalan yang menurun selama kehamilan, akibatnya dapat terjadi peningkatan Prevalensi densitas parasit malaria berat (10).

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang masuk ke dalam tubuh manusia, ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina (WHO 1981). Empat spesies Plasmodium penyebab malaria pada manusia adalah :

  1. Plasmodium falcifarum yang sering menjadi malaria cerebral, dengan angka kematian yang tinggi. Infeksi oleh spesies ini menyebabkan parasitemia yang meningkat jauh lebih cepat dibandingkan spesies lain dan merozoitnya menginfeksi sel darah merah dari segala umur (baik muda maupun tua). Spesies ini menjadi penyebab 50% malaria di seluruh dunia.
  2. Plasmodium vivax . Spesies ini cenderung menginfeksi sel-sel darah merah yang muda (retikulosit), kira-kira 43% dari kasus malaria di seluruh dunia disebabkan oleh plasmodium vivax.
  3. Plasmodium malaria . Mempunyai kecenderungan untuk menginfeksi sel-sel darah merah yang tua.
  4. Plasmodium ovale . Predileksinya terhadap sel-sel darah merah mirip dengan Plasmodium vivax (menginfeksi sel-sel darah muda). Ada juga seorang penderita terinfeksi lebih dari satu spesies plasmodium secara bersamaan.

Hal ini disebut infeksi campuran atau mixed infeksi. Infeksi campuran paling banyak di sebabkan oleh dua spesies terutama plasmodium falcifarum dan plasmodium vivax atau plasmodium vivax dan plasmodium malaria. Jarang terjadi infeksi campuran oleh tiga spesies sekaligus. Infeksi campuran banyak dijumpai di wilayah yang tingkat penularan malarianya tinggi. Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P. falciparum dan P.vivax atau campuran keduanya, sedangkan P. malaria hanya ditemukan di NusaTenggara Timur dan P. ovale ditemukan di Papua.

B. Gejala Klinis

Gejala malaria terdiri dari beberapa serangan demam dengan interval tertentu (disebut paroksisme), diselingi oleh suatu periode yang penderitanya bebas sama sekali dari demam (disebut periode laten). Gejala yang khas tersebut biasanya ditemukan pada penderita non-imun. Sebelum timbulnya demam, biasanya penderita merasa lemah, mengeluh sakit kepala, kehilangan nafsu makan, merasa mual di ulu hati, atau muntah. Masa tunas malaria sangat tergantung pada spesies Plasmodium yang menginfeksi. Masa tunas paling pendek dijumpai pada malaria falciparum, yang terpanjang pada malaria kuartana (Plasmodium malariae). Masa tunas parasit malaria adalah 12 hari untuk malaria falciparum, 14 hari untuk malaria vivax, 28 hari untuk malaria kuartana, dan 17 hari untuk malaria ovale. Malaria mempunyai gambaran karakteristik demam periodik, anemia, dan splenomegali. Gejala yang klasik yaitu terjadinya 'Trias Malaria' secara berurutan ; periode dingin, periode demam, dan periode berkeringat.

  1. Anemia merupakan gejala yang sering dijumpai pada infeksi malaria. Beberapa mekanisme terjadinya anemia adalah : pengrusakan eritrosit oleh parasit, hambatan eritropoiesis sementara, hemolisis oleh karena proses complement mediated immune complex, eritrofagositosis, penghambatan pengeluaran retikulosit, dan pengaruh sitokin.
  2. Splenomegali sering dijumpai pada penderita malaria, limpa akan teraba setelah tiga hari dari serangan infeksi akut, limpa menjadi bengkak, nyeri dan hiperemis. Limpa merupakan organ yang penting dalam pertahanan tubuh terhadap infeksi malaria.
  3. Pola demam malaria . Demam pada malaria ditandai dengan adanya paroksisme, yang berhubungan dengan perkembangan parasit malaria dalam sel darah merah. Puncak serangan panas terjadi berbarengan dengan lepasnya merozoit-merozoit ke dalam peredaran darah (proses sporulasi). Untuk beberapa hari pertama, pola panas tidak beraturan, baru kemudian polanya yang klasik tampak sesuai spesiesnya. Pada malaria falciparum, pola panas yang ireguler itu mungkin berlanjut sepanjang perjalanan penyakitnya sehingga tahapan-tahapannya yang klasik tidak begitu nyata terlihat.Suatu paroksisme demam biasanya mempunyai tiga stadium yang berurutan sebagai berikut :

Stadium dingin/cold stage Stadium ini mulai dengan menggigil dan perasaan sangat dingin. Nadi penderita cepat, tetapi lemah. Bibir dan jari-jari sianotik. Kulitnya kering dan pucat, penderita mungkin muntah dan pada penderita anak sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung selama 15 menit-1 jam.

Stadium demam/hot stage Setelah menggigil/ merasa dingin, pada stadium ini penderita mengalami serangan demam. Muka penderita menjadi merah, kulitnya kering dan dirasakan sangat panas seperti terbakar, sakit kepala bertambah keras, dan sering disertai dengan rasa mual atau muntah-muntah. Nadi penderita menjadi kuat kembali. Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan bisa meningkat sampai 41 derajat celcius. Stadium ini berlangsung selama 2-6 jam.

Stadium berkeringat/sweating stage , Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali, sampai membasahi tempat tidur. Namun suhu badan pada fase ini turun dengan cepat, kadang-kadang sampai di bawah normal. Biasanya penderita tertidur nyenyak dan pada saat terjaga, ia merasa lemah, tapi tanpa gejala lain. Stadium ini berlangsung 2-4 jam.Sesudah serangan panas pertama, terjadi interval bebas panas selama antara 48-72 jam, lalu diikuti dengan serangan panas berikutnya seperti yang pertama; dan demikian selanjutnya. Gejala-gejala malaria 'klasik' seperti yang telah diuraikan tidak selalu ditemukan pada setiap penderita, dan ini tergantung pada spesies parasit, umur dan tingkat imunitas penderita.

C. Pengaruh Malaria Selama Kehamilan

Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung pada tingkat kekebalan seseorang terhadap infeksi parasit malaria dan paritas (jumlah kehamilan). Ibu hamil dari daerah endemi yang tidak mempunyai kekebalan dapat menderita malaria klinis berat sampai menyebabkan kematian (4). Di daerah endemisitas tinggi, malaria berat dan kematian ibu hamil jarang dilaporkan (15). Gejala klinis malaria dan densitas para sitemia dipengaruhi paritas, sehingga akan lebuh berat pada primigravida (kehamilan pertama) daripada multigravida (kehamilan selanjutnya) 2. Pada ibu hamil dengan malaria, gejala klinis yang penting diperhatikan ialah demam, anemia, hipoglikemia, edema paru, akut dan, malaria berat lainnya.

Siklus hidup plasmodium dalam tubuh manusia

a. Anemia

Infeksi malaria akan menyebabkan lisis sel darah merah yang mengandung parasit sehingga akan menyebabkan anemia hemolitik normokrom. Pada infeksi plasmodium falciparum dapat terjadi anemia berat karena semua umur eritrosit dapat diserang. Eritrosit berparasit maupun tidak berparasit mengalami hemolisis karena fragilitas osmotik meningkat. Selain itu juga dapat disebabkan peningkatan autohemolisis baik pada eritrosit berparasit maupun tidak berparasit sehingga masa hidup eritrosit menjadi lebih singkat dan anemia lebih cepat terjadi.

b. Sistem sirkulasi

Kerusakan endotel kapiler sering terjadi pada malaria falciparum yang berat karena terjadi peningkatan permeabilitas cairan, protein dan diapedesis eritrosit. Kegagalan lebih lanjut aliran darah ke jaringan dan organ disebabkan vasokonstriksi arteri kecil dan dilatasi kapiler, hal ini akan memperberat keadaan anoksi. Pada infeksi plasmodium falciparum sering dijumpai hipotensi ortostatik.

c. Edema pulmonum

Pada infeksi plasmodium falciparum, pneumonia merupakan komplikasi yang sering dan umumnya akibat aspirasi atau bakteremia yang menyebar dari tempat infeksi lain. Gangguan perfusi organ akan meningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi edema interstitial. Hal ini akan menyebabkan disfungsi mikrosirkulasi paru. Gambaran makroskopik paru berupa reaksi edematik, berwarna merah tua dan konsistensi keras dengan bercak perdarahan. Gambaran mikroskopik tergantung derajat parasitemi pada saat meninggal.

d. Hipoglikemia

Pada wanita hamil umumnya terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang menyebabkan kecenderungan hipoglikemia terutama saat trimester terakhir. Selain itu, sel darah merah yang terinfeksi memerlukan glukosa 75 kali lebih banyak daripada sel darah normal.

e. Infeksi plasenta

Pada penelitian terhadap plasenta wanita hamil yang terinfeksi berat oleh falciparum ditemukan banyak timbunan eritrosit yang terinfeksi parasit dan monosit yang berisi pigmen di daerah intervilli. Disamping itu juga ditemukan nekrosis sinsisial dan proliferasi sel-sel sitotrofoblas.

f. Gangguan elektrolit

Rasio natrium/kalium di eritrosit dan otot meningkat dan pada beberapa kasus terjadi peningkatan kalium plasma pada saat lisis berat. Rasio natrium/kalium urin sering terbalik.

Kematian janin intrauterin dapat terjadi akibat hiperpireksia, anemi berat, penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat infeksi transplasental.b.

g. Malaria serebral

Malaria serebral merupakan ensefalopati simetrik pada infeksi Plasmodium falciparum dan memiliki mortalitas 20-50%. Sejumlah mekanisme patofisiologi ditemukan antara lain obstruksi mekanis pembuluh darah serebral akibat berkurangnya kemampuan deformabilitas eritrosit berparasit atau akibat adhesi eritrosit berparasit pada endotel vaskuler yang akan melepaskan faktor-faktor toksik dan akhirnya menyebabkan permeabilitas vaskuler meningkat, sawar darah otak rusak, edema serebral dan menginduksi respon radang pada dan di sekitar pembuluh darah serebral.

Pada janin

Malaria falciparum sangat berbahaya terutama pada trimester terakhir kehamilan diantaranya adalah:

a. Kematian janin dalam kandungan.

Kematian janin intrauterin dapat terjadi akibat hiperpireksia, anemi berat, penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat infeksi transplasental

b. Abortus

Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering terjadi karena demam tinggi sedangkan abortus pada usia trimester II disebabkan oleh anemia berat.

c. Persalinan prematur .

Umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah serangan malaria yang disebabkan oleh febris, dehidrasi, asidosis atau infeksi plasenta.

d. Bayi berat lahir rendah

Penderita malaria biasanya menderita anemi sehingga akan berakibat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan.

e. Malaria kongenital.

Plasenta merupakan barier utama dari parasit malaria, dan status kekebalan ibu berperan menghambat transmisi tersebut. Oleh sebab itu pada banyak ibu-ibu yang non imun dan semi imun terjadi transmisi malaria intra-uterin ke janin, sehingga menyebabkan penetrasi langsung melalui villi chorion, separasi plasenta yang prematur, dan transfusi fisiologis darah ibu ke sirkulasi darah janin di dalam uterus.

= Beberapa Sifat Perbandingan Dan DiagnostikPada Empat Spesies Plasmodium Pada Manusia.

Sifat

falciparum

P. vivax

P. ovale

P. malariae

Daur praeritrosit

5,5 hari

8 hari

9hari

10-15 hari

Hipnozoit

-

+

+

-

Jumlah merozoit hati

40.000

10.000

15.000

15.000

Daur eritrosit

48 jam

48 jam

50 jam

72 jam

Eritrosit yg dihinggapi

Muda dan normosit

Retikulosit dan normosit

Retikulosit dannormosit muda

Normosit

Pembesaran eritrosit

-

++

+

-

Titik-titik eritrosit

Maurer

Schuffner

Schuffner (james)

Ziemann

Pigmen

Hitam

Kuning tengguli

Tengguli tua

Tengguli hitam

Jumlah merozoit

8 - 24

12 - 18

8 - 10

8

Daur dalam nyamuk pada 27°C

10 hari

8-9 hari

12-14 hari

26-28 hari

D. Penanganan Malarian pada ibu hamil

Infeksi malaria P. falciparum pada ibu hamil dalam trimester pertama kehamilan harus dirawat dengan quinine (Kina). Setelah trimester II kehamilan maka ACT (amodiaquine dan artesunat) akan digunakan untuk perawatan malaria.

Kombinasi artesunat-amodiaquin, mekanisme kerjanya dapat meningkatkan efikasi, memperlambat resistensi, dapat membunuh parasit dengan konsentrasi yang tinggi dan menurunkan penyebaran malaria. Terapi Terkini Malaria Falciparum menggunakan terapi "artemisinin combination therapy (ACT)". Pedoman pengobatan malaria falciparum pada ibu hamil dapat dilihat sbb. Pengobatan malaria falciparum pada kehamilan Trimester II dan III

Hari

Jenis obat

Jumlah tablet per hari



40-60 kg

> 60 kg

H 1

Artesunat

3

4

Amodiaquine

3

4

H 2

Artesunat

3

4

Amodiaquine

3

4

H 3

Artesunat

3

4

Amodiaquine

3

4

Sumber: Kebijakan penanganan malaria pada ibu hamil di daerah endemis (Depkes. RI, 2009)

Penggunaan obat-obat yang terdaftar sebagai antimalaria sudah diatur dan dibakukan oleh Departemen Kesehatan sesuai dengan daerah dan sensitivitas Plasmodium falciparum terhadap obat-obat antimalaria. Artemisinin dipilih sebagai terapi kombinasi malaria yang sangat penting saat ini karena kemampuan menurunkan parasitemia 10 kali lebih cepat daripada obat-obat antimalaria lainnya: mempunyai efek samping yang minimal, tidak ditemukan adanya efek toksis, terabsorbsi cepat secara oral, dapat diberi secara intravena dan intramuscular dengan dosis pemberian dua kali sehari; dapat mengurangi karier gametosit pada manusia. Walau telah tersedia obat pilihan namun dalam penanganan malaria, kesulitan tidak hanya diawali dengan mendapatkan kepastian diagnosis dini tetapi juga sering diakhiri dengan kegagalan pengobatan. Kegagalan pengobatan selain karena keterlambatan mendapat pengobatan, juga karena ketidaktepatan regimen dan dosis obat yang diberikan, serta kepatuhan penderita yang kurang memperhatikan pola minum obat antimalaria.

Terdapat dua teori yang menjelaskan patogenesis infeksi malaria pada kehamilan, sbb.:
1. Teori sequestration: eritrosit yang terinfeksi terakumulasi di daerah pembuluh darah ibu pada plasenta (ruang intervillous), sehingga mengakibatkan penurunan suplai makanan dan oksigen ke janin dan meningkatkan resiko BBLR. Hal ini juga diperberat oleh status anemia pada ibu sebagai akibat infeksi plasmodium pada eritrosit ibu.

2. Teori imunopathology: pada kehamilan normal respons imun selular (Th1) ditekan untuk mencegah rejeksi oleh fetus. Infeksi malaria malah akan menstimulasi respons Th1 ini sehingga menyebabkan pertumbuhan janin terhambat. Respons Th1 yang kuat selama kehamilan juga terkait dengan anemia pada ibu, aborsi spontan, dan persalinan prematur.
Penyakit malaria ditandai dengan demam yang tinggi serta infeksi pada sel darah merah (eritrosit) yang selanjutnya dapat menimbulkan anemia. Lalu, mengapa malaria memiliki dampak yang serius pada kehamilan? Karena, setiap tahunnya lebih dari 30 juta wanita di daerah endemis menjadi hamil. Kemudian malaria dalam kehamilan memberikan kontribusi bagi terjadinya 2-15% anemia pada ibu hamil, 30% BBLR, dan 3-5% kematian neonatus. Pada primigravida biasanya tidak memiliki imunitas terhadap malaria dan sangat suseptibel. Namun pada daerah dengan transmisi malaria yang tinggi, multigravida memiliki imunitas terhadap infeksi malaria dan mendapatkan perlindungan pada kehamilan berikutnya. Sedangkan pada daerah dengan transmisi malaria yang rendah, multigravida biasanya jarang terpapar dan tidak memiliki kekebalan.Kekebalan multigravida di daerah dengan transmisi malaria yang tinggi disebabkan oleh resirkulasi dari T-limfosit dari pembuluh darah intervillus menuju jaringan limfoid lokal yang selanjutnya memfasilitasi imunitas lokal dimaksud. Komplikasi maternal pada daerah endemik mencakup anemia, febrile illness, dan placental sequestration. Sedangkan komplikasi pada daerah non-endemik mencakup resiko tinggi untuk menderita malaria cerebral, risiko kematian yang juga tinggi, anemia, hipoglikemia, oedem paru, dan gagal ginjal.Sedangkan komplikasi pada janin di daerah endemis meliputi BBLR, IUGR, dan pada daerah non-endemik meliput abortus spontan, persalinan preterm, BBLR, dan malaria kongenital

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Malaria adalah penyakit parasit yang resikonya lebih tinggi pada ibu hamil dibandingkan dengan mereka yang tidak hamil, terutama selama kehamilan pertama yang dapat menyebabkan infeksi plasenta, abortus, meninggal dalam kandungan, anemia dan berat badan lahir rendah. Pengaruh utama malaria selama kehamilan adalah terutama pada ibu dan janinnya.

- Pada ibu dengan infeksi plasmodium falciparum dapat terjadi komplikasi berat seperti demam, anemia, hipoglikemia, malaria otak, edema paru merupakan yang utama mempengaruhi wanita-wanita dengan kekebalan rendah.

- Pada malaria plasenta dapat menyebabkan kematian janin, abortus, hiperpireksia, prematuritas dan berat badan lebih rendah.

Kontrol malaria selama kehamilan dapat dilakukan secara kemoprofilaksis, kemoterapi, mengurangi kontak dengan vektor dan vaksinasi

PENGARUH MALARIA PADA IBU HAMIL

NAM : LUKY FEBRIANI

NIM : PO 5140116 060

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang

Sampai saat ini malaria masih merupakan masalah kesehatan masyarakat
dinegara-negara seluruh dunia, baik didaerah tropis maupun sub tropis, terutama
dinegara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit malaria disebabkan oleh parasit
protozoa dari Genus plasmodium. Empat spesies yang ditemukan pada manusia
adalah Plasmodium Vivax, P. ovale, P. malariae dan P. Falciparum. Badan kesehatan
seduania (WHO) melaporkan tiga juta anak manusia meninggal setiap tahun karena
menderita malaria. Dan tiap tahun terdapat 110 juta penderita malaria, 280 juta
orang sebagai "Carrier" dan 2/5 penduduk dunia selalu kompak dengan malaria
(1,3,31).

Malaria menyerang individu tanpa membedakan umur dan jenis kelamin, tidak
terkecuali wanita hamil merupakan golongan yang rentan. Malaria pada kehamilan
dapat disebabkan oleh keempat spesies plasmodium, tetapi plasmodium Falciparum
merupakan parasit yang dominan dan mempunyai dampak paling berat terhadap
morbiditas dam mortalitas ibu dan janinnya (2,4,5). Di daerah endemi malaria wanita hamil lebih mudah terinfeksi parasit malaria dibandingkan wanita tidak hamil. Kemudahan infeksi itu terjadi karena kekebalan yang menurun selama kehamilan, akibatnya dapat terjadi peningkatan Prevalensi densitas parasit malaria berat (10). Laporan dari berbagai negara menunjukan insidens malaria pada wanita hamil umumnya cukup tinggi, dari El vador 55,75% yaitu 63 kasus dari 113 wanita hamil;
dari berbagai tempat bervariasi antara 2-76% (6,13). Berdasarkan hal-hal diatas terlihat bahwa malaria selama kehamilan perlu mendapat perhatian khusus. Selanjutnya pada tinjauan pustaka ini akan dibahas pengaruh malaria terhadap ibu dan janinnya serta kontrol terhadap malaria selama kehamilan.

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGARUH MALARIA SELAMA KEHAMILAN

A. PADA IBU

Malaria pada ibu hamil dapat menimbulkan berbagai kelainan, tergantung pada tingkat kekebalan seseotrang terhadap infeksi parasit malaria dan paritas (jumlah
kehamilan). Ibu hamil dari daerah endemi yang tidak mempunyai kekebalan dapat
menderita malaria klinis berat sampai menyebabkan kematian (4).
Di daerah endemisitas tinggi, malaria berat dan kematian ibu hamil jarang
dilaporkan (15). Gejala klinis malaria dan densitas para sitemia dipengaruhi paritas,
sehingga akan lebuh berat pada primigravida (kehamilan pertama) daripada
multigravida (kehamilan selanjutnya) 2. Pada ibu hamil dengan malaria, gejala klinis yang penting diperhatikan ialah demam, anemia, hipoglikemia, edema paru, akut dan, malaria berat lainnya.© 2003 Digitized by USU digital library 2
1. Demam

Demam merupakan gejala akut malaria yang lebih sering dilaporkan pada ibu
hamil dengan kekebalan rendah atau tanpa kekebalan, terutama pada Primigravida.
Pada ibu hamil yang multigravida dari daerah endemisitas tinggi jarang timbul gejala
malaria termasuk demam, meskipun terdapat parasitemia yang tinggi (8,26).
2. Anemia

Menurut defenisi WHO, anemia pada kehamilan adalah bila kadar haemoglobin (Hb) < 11 g/ dl. Gregor (1984) mendapatkan data bahwa penurunan kadar Hb dalam darah hubungannya dengan parasitemia, terbesar terjadi pada primigravida dan berkurang sesuai dengan penyusunan peningkatan paritas (2). Van Dongen (1983) melaporkan bahwa di Zambia, primigravida dengan infeksi P. falciparum merupakan kelompokyang beresiko tinggi menderita anemia dibandingkan dengan multigravida (23). Di Nigeria Fleming (1984) melaporkan bahwa malaria sebagai penyebab anemia ditemukan pada 40% penderita anemia primigravida (24). Anemia pada malaria terjadi karena lisis sel darah merah yang mengandung parasit. Hubungan antara anemia dan splenomegali dilaporkan oleh Brabin (1990) yang melakukan penelitian pada wanita hamil di Papua Neu Geuinea, dan menyatakan bahwa makin besar ukuran limpa makin rendah nilai Hb-nya (28). Pada penelitian yang sama Brabin melaporkan hubungan BBLR (berat badan lahir rendah) dan anemia berat pada primigravida. Ternyata anemia yang terjadi pada trimester I kehamilan, sangat menentukan apakah wanita tersebut akan melahirkan bayi dengan berat badan rendah atau tidak karena kecepatan pertumbuhan maksimal janin terjadi sebelum minggu ke 20 usia kehamilan (28). Laporan WHO menyatakan bahwa anemia berpengaruh terhadap morbiditas ibu hamil, dan secara tidak langsung dapat menyebabkan kematian ibu dengan meningkatnya angka kematian kasus yang disebabkan oleh pendarahan setelah persalinan (Post-partum hemorrhage) 15. 3. Hipoglikemia Hipoglikemia juga terdapat sebagai komplikasi malaria, sering ditemukan pada wanita hamil daripada tidak hamil. Pada wanita hamil terjadi perubahan metabolisme karbohidrat yang cenderung menyebebkan terjadinya Hipoglikemia, terutama pada trimester akhir kehamilan (3,21,22). Dilaporkan juga bahwa sel darah merah yang terinfeksi parasit malaria memerlukan glukosa 75 kali lebih banyak daripada sel darah merah yang tidak terinfeksi, sehingga pada penderita dengan hiperparasitemia dapat terjadi hipoglikemia. Selain daripada itu, pada wanita hamil dapat terjadi hipoglikemia karena meningkatnya fungsi sel B pankreas, sehingga pembentukan insulin bertambah (15). Seorang menderita hipoglikemia bila kadar glukosa dalam darah lebih rendah dari 2, 2 m.mol perliter. Mekanisme terjadinya hipoglikemia sangat kompleks dan belum diketahui secara pasti. Berdasarkan faktor tersebut diatas jelaslah bahwa wanita hamil yang terinfeksi malaria cenderung untuk menderita hipoglikemia. Migasena (1983) melaporkan bahwa wanita hamil diantara 6 kasus menderita hipoglikemia dan White (1983) mendapatkan 50% kasus hipoglikemia yang diteliti ternyata wanita hamil (14,27). Gejala hipoglikemia dapat berupa gangguan kesadaran sampai koma. Bila sebelumnya penderita sudah dalam keadaan koma karena ' malaria serebral', maka komanya akan lebih dalam lagi. Penderita ini bila diinjeksikan glukosa atau diinfus dengan dekstrosa maka kesadarannya akan pulih kembali, tetapi karena ada hiperinsulinemia, keadaan hipoglikemia dapat kambuh dalam beberapa hari (7). © 2003 Digitized by USU digital library 3 4. Edema paru akut Biasanya kelainan ini terjadi setelah persalinan bagaimana cara terjadinya edema paru ini masih belum jelas kemungkinan terjadi karena autotransfusi darah post-partum yang penuh dengan sel darah merah yang terinfeksi. Gejalanya, mulamula frekuensi pernafasan meningkat, kemudian terjadi dispenia (sesak nafas) dan penderita dapat meninggal dalam waktu beberapa jam (3,21,22). 5. Malaria Berat Lainnya Menurut WHO, penderita malaria berat adalah penderita yang darah tepinya mengandung stadium aseksual palsmodium falciparum yang disertai gejala klinik berat dengan catatan kemungkinan penyakit lain telah disingkirkan3. Gejala klinik dan tanda malaria berat antara lain hiperparasitemia (> 5% sdm terinfeksi), malaria otak, anemia berat (Hb < 7,1 g/ dl), hiperpereksia (suhu > 40 oC), edema paru, gaagl ginjal, hipoglikemia, syok (3,21,22). Gejala dan tanda-tanda malaria tersebut diatas perlu diperhatikan, karena kasus ini memerlukan
penanganan khusus baik untuk keselamatan ibu maupun untuk kelangsungan hidup
janinnya.

2.2 KONTROL MALARIA SELAMA KEHAMILAN

1. Kemoprofilaksis

Strategi kontrol malaria saat ini untuk kehamilan masih merupakan
pemberian kemoprofilaksis anti malaria yang rutin yaitu klorokuin pada setiap wanita
hamil dalam daerah endemi malaria. Beberapa penelitian menunjukan bahwa
kemoprofilaksis dapat mengurangi anemia pada ibu dan menambah berat badan
lahir terutama pada kelahiran pertama. Resiko malaria dan konsekwensi bahayanya
tidak meningkat selama kehamilan kedua pada wanita yang menerima kemoprofilaksis selama kehamilan pertama14. Pada daerah endemisitas tinggi untuh P. falciparun infeksi malaria selama kehamilan menyebabkan rendahnya berat bayi lahir merupakan faktor resiko yang paling besar untuk mortalitas neonatal17. Kemoprofilaksis yang diberikan selama kehamilan dapat meningkatkan berat kelahiran rata-rata, terutama pada kehamilan pertama dn menurunkan tingkat mortalitas bayi kira-kira 20%11. Rata-rata bayi yang dilahirkan pada kehamilan pertama bagi ibu yang menerima kemoprofilaksis lebih tinggi daripada berat bayi yang ibunya tidak menerima kemoprofilaksis. Kelahiran mati dan setelah mati lahir lebih kurang pada bayi dan ibu-ibu yang menerima kemoprofilaksis dibandingkan denghan bayi dari ibu-ibu yang tidak mendapat kemoprofilaksis11.

1. Kemoterapi

Kemoterpi tergantung pada diagnosis dini dan pengobatan klinis segera.
Kecuali pada wanita yang tidak kebal, efektifitas kemoterpi pada wanita hamil
tampak kurang rapi karena pada wanita imun infeksi dapat berlangsung tanpa
gejala. Pada wanita dengan kekebalan rendah, walaupun dilakukan diagnosis dini © 2003 Digitized by USU digital library 5 dan pengobatan segera ternyata belum dapat mencegah perkembanagan anemia pada ibu dan juga berkurangnya berat badan lahir bayi15.

2. Mengurangi Kontak dengan Vektor

Mengurangi kontak dengan vektor seperti insektisida, pemakaian kelabu yang
dicelup dengan insektisida mengurangi prevalensi parasitemia, khususnya densitas
tinggi, insidens klinis dan mortalitas malaria. Pada wanita hamil di Thailand
dilaporkan bahwa pemakaian kelambu efektif dalam mengurangi anemia maternal
dan parasitemia densitas tinggi, tetapi tidak efektif dalam meningkatkan berat badan
lahir rendah15.

3. Vaksinasi

Target vaksin malaria antara lain mengidentifikasi antigen protektif pada
ketiga permukaan stadium parasit malaria yang terdiri dari sporozoit, merozoit, dan
gametosit31. Kemungkinan penggunaan vaksin yang efektif selama kehamilan baru muncul dan perlu pertimbangan yang kompleks. Tiga hal yang perlu dipertimbangkan dalam penggunaan vaksin untuk mencegah malaria selama kehamilan, yaitu :

a. Tingkat imunitas sebelum kehamilan

b. Tahap siklus hidup parasit

c. Waktu pemberian vaksin15.

Sampai saat ini belum ditemukan vaksin yang aman dan efektif untuk
penanggulangan malaria7.

BAB III

KESIMPULAN

1. Malaria adalah penyakit parasit yang resikonya lebih tinggi pada ibu hamil
dibandingkan dengan mereka yang tidak hamil, terutama selama kehamilan
pertama yang dapat menyebabkan infeksi plasenta, abortus, meninggal dalam
kandungan, anemia dan berat badan lahir rendah.

2. Pengaruh utama malaria selama kehamilan adalah terutama pada ibu dan
janinnya.

- Pada ibu dengan infeksi plasmodium falciparum dapat terjadi komplikasi berat
seperti demam, anemia, hipoglikemia, malaria otak, edema paru mrupakan
yang utama mempengaruhi wanita-wanita dengan kekebalan rendah.
- Pada malaria plasenta dapat menyebabkan kematian janin, abortus,
hiperpireksia, prematuritas dan berat badan lebih rendah.

3. Kontrol malaria selama kehamilan dapat dilakukan secara kemoprofilaksis,
kemoterapi, mengurangi kontak dengan vektor dan vaksinasi.

PENGARUH MALARIA TERHADAP JANIN

NAMA : MIA ROZA MENTARI

NIM : PO 5140116 062

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

Pengaruh Malaria Pada Janin

a. Kematian janin dalam kandungan .

Kematian janin intrauterin dapat terjadi akibat hiperpireksia, anemi berat, penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat infeksi transplasental

b. Abortus

Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering terjadi karena demam tinggi sedangkan abortus pada usia trimester II disebabkan oleh anemia berat.

c. Persalinan prematur .

Umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah serangan malaria yang disebabkan oleh febris, dehidrasi, asidosis atau infeksi plasenta.

d. Bayi berat lahir rendah
Penderita malaria biasanya menderita anemi sehingga akan berakibat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan.

e. Malaria kongenital.
Plasenta merupakan barier utama dari parasit malaria, dan status kekebalan ibu berperan menghambat transmisi tersebut. Oleh sebab itu pada banyak ibu-ibu yang non imun dan semi imun terjadi transmisi malaria intra-uterin ke janin, sehingga menyebabkan penetrasi langsung melalui villi chorion, separasi plasenta yang prematur, dan transfusi fisiologis darah ibu ke sirkulasi darah janin di dalam uterus.

Pengaruh Pada Janin Komplikasi malaria pada kehamilan bagi janin adalah :

  1. Berat badan lahir rendah Penderita malaria biasanya menderita anemia sehingga akan menyebabkan gangguan sirkulasi nutrisi pada janin dan berakibat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan janin dalam kandungan. Sebuah review yang diterbitkan Lancet Infection Disease tahun 2007, menyatakan bahwa BBLR merupakan komplikasi yang sering terjadi, hampir 20% BBLR disebabkan karena malaria dalam kehamilan. Penelitian di RSUD Kota Bengkulu pada tahun 2011 juga mendapatkan hasil yang serupa, dimana 45,9% BBLR yang dilahirkan di RSUD kota Bengkulu disebabkan karena ibu menderita malaria dalam kehamilannya. Sebuah studi yang dilakukan di Thailand, mendapatkan hasil bahwa ibu hamil dengan malaria melahirkan 20% BBLR, 10 % lahir prematur. Plasmodium vivax dapat juga meningkatkan risiko BBLR. 10.
  2. Kematian janin dalam kandungan Kematian janin intrauterin dapat terjadi sebagai akibat hiperpireksia, anemia berat, penimbunan parasit di dalam plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi ataupun akibat terjadinya infeksi transplasental. Infeksi malaria vivax juga meningkatkan risiko kematian janin dalam kandungan dan abortus. Penelitian di Papua dengan infeksi plasmodium vivax dapat menyebabkan kematian janin dalam kandungan.11
  3. Abortus Abortus pada usia kehamilan trimester I lebih sering terjadi karena demam tinggi sedangkan abortus pada usia trimester II disebabkan oleh anemia berat. Penelitian di Pakistan menyatakan bahwa 14% ibu hamil yang mengalami infeksi malaria dalam kehamilan mengalami abortus. Abortus karena infeksi malaria vivax juga dilaporkan pada sebuah penelitian di Venezuela, Amerika latin.10
  4. Kelahiran Prematur Persalinan prematur umumnya terjadi sewaktu atau tidak lama setelah serangan malaria. Beberapa hal yang menyebabkan persalinan prematur adalah febris, dehidrasi, asidosis atau infeksi plasenta. Penelitian di Pakistan menyatakan bahwa 6% ibu hamil yang mengalami infeksi malaria dalam kehamilan mengalami partus prematurus. Infeksi Plasmodium vivax juga berkontribusi terhadap prevalensi kelahiran prematur.12
  5. Malaria kongenital Plasenta mempunyai fungsi sebagai barier protektif dari berbagai kelainan yang terdapat dalam darah ibu sehingga bila terinfeksi maka parasit malaria akan ditemukan di plasenta bagian maternal dan hanya dapat masuk ke sirkulasi janin bila terdapat kerusakan plasenta misalnya pada persalinan sehingga terjadi malaria kongenital. Gejala klinik malaria kongenital antara lain iritabilitas, tidak mau menyusu, demam, pembesaran hati dan limpa (hepatosplenomegali) dan anemia tanpa retikulositosis dan tanpa ikterus. Malaria kongenital dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu :

a) True Congenital Malaria (Acquired during pregnancy) Pada malaria kongenital ini sudah terjadi kerusakan plasenta sebelum bayi dilahirkan. Parasit malaria ditemukan pada darah perifer bayi dalam 48 jam setelah lahir dan gejala-gejalanya ditemukan pada saat lahir atau 1 - 2 hari setelah lahir.

b) False Congenital Malaria (Acquired during labor) Malaria kongenital ini paling banyak dilaporkan dan terjadi karena pelepasan plasenta diikuti transmisi parasit malaria ke janin. Gejala gejalanya muncul 3 - 5 minggu setelah bayi lahir. 4

PENGOBATAN PENCEGAHAN MALARIA BERSELANG SELAMA KEHAMILAN PEREMPUAN HIV-POSITIF

NAMA : NADHYIFA

NIM : PO 5140116 065

PRODI : D3 K3BIDANAN

KELAS : 1B

Pengobatan pencegahan berselang setiap bulan selama kehamilan (monthly intermittenpreventive treatment during pregnancy/IPTp) dengan sulfadoksin-pirimetamin (SP) adalah sebanding dengan dua dosis SP IPTp sebagai pengobatan pencegahan baku untuk melindungi perempuan HIV-positif terhadap malaria di Zambia. Hal ini berdasarkan temuan penelitian yang diterbitkaan dalam Journal of Infectious Diseases edisi 1 Desember 2007.

Tetapi, IPTp dua dosis berisiko kekurangan dosis pada beberapa perempuan yang hanya menerima dosis tunggal sehingga berdampak buruk pada kehamilan. Hal ini berdasarkan tajuk rencana bersama yang ditulis oleh penulis laporan dalam jurnal yang sama.

Kurang lebih 12 juta perempuan hamil di Afrika sub-Sahara akan terserang malaria pada 2007. Dampak buruk kehamilan yang berpengaruh pada malaria plasenta termasuk anemia, bayi lahir meninggal, keguguran, aborsi, bayi lahir dengan berat badan rendah (low birth weight/LBW), dan kematian ibu. Bayi LBW rentan terhadap banyak penyakit anak.

Masalah kesehatan masyarakat ini bertambah dengan koinfeksi malaria dan HIV yang umum di banyak negara Afrika sub-Sahara. Perempuan hamil yang HIV-positif lebih rentan terserang malaria dibandingkan dengan perempuan hamil yang HIV-negatif. Di sisi lain serangan malaria meningkatkan viral load dan risiko penularan HIV dari ibu-ke-bayi.

IPTp adalah intervensi yang efektif untuk mengurangi infeksi plasenta, anemia pada ibu, dan LBW pada perempuan HIV-negatif. Tetapi, belum ada panduan yang jelas tentang frekuensi dosis SP yang terbaik untuk perempuan hamil yang HIV-positif yang belum memakai profilaksis kotrimoksazol.

Dua penelitian di Kenya dan Malawi sebelumnya menunjukkan bahwa IPTp sebulan sekali lebih efektif dibandingkan dua dosis IPTp pada perempuan hamil yang terinfeksi HIV dan yang HIV-negatif. Temuan ini harus dikonfirmasi dengan rangkaian lain di Afrika dengan malaria tingkat penularan yang berbeda.

Untuk menangani masalah ini, tim peneliti dari Zambia dan AS membandingkan IPTp bulanan dan dua dosis IPTp di wilayah dengan tingkat penularan malaria rendah. Penelitian ini dilakukan antara Januari 2003 dan Oktober 2004 di tiga klinik distrik di Ndola, Zambia. Tingkat kegagalan pengobatan malaria dengan SP meningkat lebih dari 2,5 kali lipat selama periode ini.

Peserta penelitian semuanya adalah perempuan hamil yang HIV-positif dengan usia kehamilan antara 16 dan 28 minggu. Setelah melakukan tes dan konseling secara sukarela (voluntary counseling and testing/VCT), perempuan HIV-positif diberi nevirapine (NVP) dan dilibatkan dalam penelitian. Penelitian ini adalah penelitian IPTp secara acak, double-blind, plasebo terkontrol dan dibandingkan dengan rejimen baku dua dosis SP dengan IPTp bulanan pada perempuan hamil yang HIV-positif di Zambia. Informasi demografi pada awal dikumpulkan dan contoh darah diambil untuk menentukan Hb serta mikroskopi malaria.

Para ibu diobati terhadap cacingan dan diberi suplemen zat besi dan folat setiap bulan. SP IPTp diberikan di bawah pengawasan langsung sampai kandungan berusia 36 minggu. Pada kunjungan tindak lanjut setiap bulan, para ibu mengisi angket dan melakukan peremiksaan kandungan serta tes laboratorium untuk anemia dan malaria.

Pada waktu melahirkan, tingkat Hb ibu dan bayi ditentukan, darah ari-ari, plasenta dan perifer ibu diambil untuk pemeriksaan malaria dengan mikroskopi, dan biopsi plasenta dilakukan untuk histologi. Berat bayi diukur dan usia kandungan diperkirakan. Satu dan enam minggu setelah kelahiran, ibu dan bayi kembali untuk pemeriksaan klinis.

Dari 456 perempuan HIV-positif yang terdaftar, 224 menerima IPTp bulanan dan 232 menerima dua dosis IPTp yang baku. Demografi pada awal dan ciri-ciri klinis, pemakaian kelambu berinsektisida, pengobatan antimalaria terakhir, dan parasitemia perifer adalah sebanding di antara kedua kelompok pengobatan.

Tidak ada perbedaan antara IPTp bulanan dan dua dosis IPTp yang baku terhadap malaria di plasenta berdasarkan histopatologi (26% banding 29%; risiko relatif [RR], 0,90) atau parasitemia plasenta (2% banding 4%; RR, 0,55). Juga tidak ada perbedaan pada anemia pada ibu, bayi lahir meninggal, kelahiran prematur, LBW, atau kematian bayi pada usia enam minggu karena sebab apapun.

Perempuan dalam kelompok IPTp bulanan rata-rata menerima empat dosis SP dan hanya satu persen menerima satu dosis. Sebaliknya, 16 % perempuan dalam kelompok dua dosis IPTp menerima satu dosis SP. Hasil pada ibu dan kelahiran dibandingkan antara perempuan yang menerima dosis tunggal dan yang menerima dua hingga empat dosis atau lebih. SP dosis tunggal secara bermakna berhubungan dengan risiko yang lebih tinggi terhadap anemia pada ibu, parasitemia perifer dan tali plasenta, bayi prematur serta LBW.

Sebagai kesimpulan, penelitian di Zambia menunjukkan bahwa di daerah penularan malaria rendah, SP IPTp bulanan adalah sebanding dengan rejimen dua dosis yang baku untuk pencegahan malaria plasenta atau dampak buruk kelahiran. Tetapi risiko kekurangan dosis meningkat secara bermakna pada rejimen dua dosis.

Temuan ini mendukung penelitian sebelumnya di Kenya dan Malawi tentang manfaat SP IPTp pada perempuan Afrika yang hamil yang HIV-positif. Mereka juga menunjukkan dampak dosis SP secara bermakna dan meremehkan keampuhan pengobatan SP dosis tunggal.

Dampak temuan ini terhadap kebijakan adalah bahwa SP IPTp bulanan tetap menjadi pilihan yang lebih baik untuk mengendalikan malaria pada perempuan hamil yang HIV-positif karena mereka lebih mungkin menerima lebih dari satu dosis SP. Tetapi, semangat tentang SP IPTp secara umum harus disikapi secara hati-hati.

Ada keprihatinan tentang kemungkinan toksisitas sulfonamida. Walaupun dalam penelitian di Zambia ini tingkat peristiwa dampak buruknya rendah, serupa pada kedua kelompok pengobatan, ada satu kasus penyakit kuning setelah lahir dan satu kasus sindrom Stevens-Johnson (SJS) yang mematikan. Karena risiko SJS meningkat secara tidak proporsional pada peserta yang terinfeksi HIV, SP IPTp pada peserta ini adalah berisiko walaupun sejauh ini kejadian toksisitas yang dilaporkan akibat SP IPTp adalah rendah.

Resistansi terhadap SP juga meningkat di banyak negara di Afrika dan pedoman IPTp berbasis SP akan segera tidak berlaku lagi di banyak negara. Tajuk rencana bersama menyarankan bahwa alternatif IPTp sebagai kombinasi obat antimalaria sebaiknya ditinjau kembali terkaitan dengan penggunaan kelambu berinsektisida karena kelambu berinsektisida adalah unsur pelengkap terhadap pengendalian malaria pada perempuan hamil. Uji coba ini sedang dilakukan di Afrika.

INTERAKSI ANTARA MALARIA DENGAN KEHAMILAN

NAMA : SEKAR AYU WULLANDARY

NIM : PO 5140116 080

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Malaria merupakan salah satu penyakit yang mudah berkembang di daerah tropis seperti Indonesia.Jenis penyakit ini berhubungan dengan penyebaran melalui hewan yaitu nyamuk yang masih menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia.Malaria bisa menyerang siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Di beberapa daerah di Indonesia kesadaran akan pentingnya pencegahan malaria masih relatif rendah. Padahal korban yang disebabkan oleh malaria cukup banyak bahkan hingga pada ibu hamil. Ini disebabkan karena jenis parasit yang dapat menumpang pada tubuh ibu hamil yang dapat sangat membahayakan yaitu jenis plasmodium falsiparum, pada ibu hamil akan semakin meningkat dikarenakan pada ibu hamil seringkali mengalami perubahan secara fisiologi, perubahan hormon bahkan perubahan-perubahan pada jumlah cairan tubuh.Faktor faktor tersebut yang dapat menambah resiko pada ibu hamil yang sedang di derita bahkan dapat menyerang anda dan janin.

Kondisi yang membuat semakin berat ketika pada trimester pertama dan kedua dikarenakan bagian yang disenangi parasit malaria yaitu plasenta dimana menjadi salah satu sumber pertumbuhan janin yaitu makanan janin. Bahkan bagian kosong akan dipenuhi oleh parasit parasit malaria sehingga parasit ini akan mengganggu saluran makanan janin sehingga saluran makan janin menjadi mengecil dan juga rusak sebagian. Akibatnya jatah makanan menuju janin akan terbagi dan terganggu berimbas pada perkembangan janin menjadi terhambat.

BAB II

PEMBAHASAN

Interaksi antara Malaria dengan Kehamilan

Malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi. Perubahan fisiologis dalam kehamilan kehamilan dan perubahan patologis akibat malaria mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing, sehingga semakin menambah masalah baik bagi ibu hamil, janinnya maupun dokter yang menanganinya. P. falciparum dapat menyebabkan keadaan yang memburuk dan dramatis untuk ibu hamil.Primigravida umumnya paling mudah terpengaruh oleh malaria, berupa anemia, demam, hipoglikemia, malaria serebral, edema pulmonar, sepsis puerperalis dan kematian akibat malaria berat dan hemoragis.Masalah pada bayi baru lahir adalah berat lahir rendah, prematuritas, pertumbuhan janin terhambat , infeksi malaria dan kematian.

Tabel l. Malaria dalam Kehamilan: Masalah yang berlipat ganda

Lebih sering terjadi

Malaria lebih sering terjadi dalam kehamilan daripada populasi umum. Penyebabnya kemungkinan karena adanya imunosupresi dan hilangnya acquired immun selama kehamilan

Gejala lebih Atipik

Dalam kehamilan, malaria cenderung menampakkan gejala atipik yang mungkin disebabkan adanya perubahan hormonal, imunologis dan hematologis selama kehamilan.

Lebih Berat

Disebabkan perubahan hormonal dan imunologis koloni parasit cenderung membesar 10 kali lilpat sehingga semua komplikasi P.falciparum lebih sering terjadi selama kehamilan.

Lebih Fatal

P.falciparum malaria dalam kehamilan cenderung lebih berat, dengan tingkat infeksius l3% lebih tinggi daripada saat tidak hamil

Terapi harus selektif

Sejumlah anti malaria merupakan kontra indikasi diberikan saat hamil dan seringkali menimbulkan efek samping yang berat. Oleh karena itu terapinya sering sulit, terutama infeksi malaria berat yang disebabkan P. falciparum.

Masalah lain

Penanganan komplikasi malaria sering sulit karena pengaruh perubahan fisiologis selama kehamilan. Harus dilakukan pengawasan ketat terhadap pemberian cairan, kontrol suhu dll. Keputusan untuk terminasi kehamilan juga sering dipersulit oleh risiko kematian janin, pertumbuhan janin terhambat dan ancaman persalinan prematur.

Sumber: (2)

Patofisiologi

Patofisiologi malaria dalam kehamilan sangat dipengaruhi oleh perubahan sistem imunologis oleh adanya organ baru yaitu plasenta.Terjadi penurunan sistem imunitas didapat yang dramatis selama kehamilan, terutama pada nulipara. (Efek imunitas antimalaria ditransfer kepada janin)

Terdapat sejumlah hipotesa yang menjelaskan patofisiologi malaria dalam kehamilan, yaitu:

Hipotesis -l:

Hilangnya kekebalan antimalaria secara konsisten berhubungan dengan terjadinya imunosupresi selama kehamilan misalnya: penurunan respon limfoproliferatif, peningkatan level kortisol serum. Hal ini dikondisikan untuk mencegah penolakan terhadap janin.Akan tetapi, kejadian ini tidak menurunkan reaksi imunologis pada ibu multigravida yang pernah menderita malaria.

Hipotesis -2:

Apakah yang hilang adalah cell mediated immunity saja, atau transfer antibodi mediated immunity secara pasif juga terganggu sehingga ibu hamil mudah terkena malaria?

Hipotesis -3: plasenta adalah organ yang baru bagi seorang primigravida sehingga memungkinan adanya imunitas host yang langsung menerobos atau adanya zat tertentu pada plasenta yang memudahkan P. falciparum untuk memperbanyak diri.

Peran plasenta, suatu organ baru saat hamil:

P. falciparum mempunyai kemampuan unik untuk melakukan cytoadhesion dan adhesion molecules spesifik terhadap CD 36 dan intercellular adhesion molecul-l yang mungkin terlibat dalam proses infeksi malaria yang berat pada anak dan wanita dewasa yang tidak hamil. Chondroitin sulfat A dan asam…… diketahui merupakan molekul perekat untuk membantu melekatnya parasit ke sel.

Gejala klinik

Selama kehamilan lebih dari setengah kasus malaria bermanifestasi atipik/tidak khas,

Demam :

Pasien dapat mengeluhkan bermacam-macam pola demam, mulai dari afebris, demam tidak terlalu tinggi yang terus menerus hingga hiperpireksia. Pada trimester kedua kehamilan gambaran atipik lebih sering terjadi karena proses imunosupresi.

Anemia :

Di negara berkembang, yang merupakan endemis malaria, anemia merupakan gejala yang sering ditemukan selama kehammilan. Penyebab utama anemia adalah malnutrisi dan kecacingan. Dalam kondisi seperti ini, malaria akan menambah berat anemia. Malaria bisa bermanifestasi sebagai anemia, sehingga semua kasus anemia harus diperiksa kemungkinan malaria.Anemia merupakan gambaran klinik yang sering ditemukan pada pasien multigravida dengan imunitas parsial yang hidup di daerah hiperendemis.

Splenomegali :

Pembesaran limpa bisa terjadi , dan menghilang pada trimester dua kehamilan. Bahkan splenomegali yang menetap sebelum hamil bisa mengecil selama kehamilan.

Komplikasi:

Komplikasi cenderung lebih sering dan lebih berat selama kehamilan.Komplikasi yang sering timbul dalam kehamilan adalah edema paru, hipoglikemia dan anemia.Komplikasi yang lebih jarang adalah kejang, penurunan kesadaran, koma, muntaber dan lain-lain.

Komplikasi malaria dalam kehamilan

Anemia:

Malaria dapat menyebabkan atau memperburuk anemia. Hal ini disebabkan:

  1. Hemolisis eritrosit yang diserang parasit
  2. Peningkatan kebutuhan Fe selama hamil
  3. Hemolisis berat dapat menyebabkan defisiensi asam folat.

Anemia yang disebabkan oleh malaria lebih sering dan lebih berat antara usia kehamilan 16-29 minggu. Adanya defisiensi asam folat sebelumnya dapat memperberat anemia ini.

Anemia meningkatkan kematian perinatal dan morbiditas serta mortalitas maternal. Kelainan ini meningkatkan risiko edema paru dan perdarahan pasca salin.

Anemia yang signifikan (Hb <7-8gr%) harus ditangani dengan transfusi darah. Sebaiknya diberikan packed red cells daripada whole blood untuk mengurangi tambahan volume intravaskuler. Transfusi yang terlalu cepat, khususnya whole blood dapat menyebabkan edema paru.

Edema paru akut

Edema paru akut adalah komplikasi malaria yang lebih sering terjadi pada wanita hamil daripada wanita tidak hamil. Keadaan ini bisa ditemukan saat pasien datang atau baru terjadi setelah beberapa hari dalam perawatan. Kejadiannya lebih sering pada trimester 2 dan 3.

Edema paru akut bertambah berat karena adanya anemia sebelumnya dan adanya perubahan hemodinamik dalam kehamilan. Kelainan ini sangat meningkatkan risiko mortalitas.

Hipoglikemia

Keadaan ini juga anehnya merupakan komplikasi yang cukup sering terjadi dalam kehamilan. Faktor-faktor yang mendukung terjadinya hipoglikemia adalah sebagai berikut:

  1. Meningkatnya kebutuhan glukosa karena keadaan hiperkatabolik dan infeksi parasit
  2. Sebagai respon terhadap starvasi/kelaparan
  3. Peningkatkan respon pulau-pulau pankreas terhadap stimulus sekresi (misalnya guinine) menyebabkan terjadinya hiperinsulinemia dan hipoglikemia.

Hipoglikemia pada pasien-pasien malaria tersebut dapat tetap asimtomatik dan dapat luput terdeteksi karena gejala-gejala hipoglikemia juga menyerupai gejala infeksi malaria, yaitu: takikardia, berkeringat, menggigil dll. Akan tetapi sebagian pasien dapat menunjukkan tingkah laku yang abnormal, kejang, penurunan kesadaran, pingsan dan lain-lain yang hampir menyerupai gejala malaria serebral. Oleh karena itu semua wanita hamil yang terinfeksi malaria falciparum, khususnya yang mendapat terapi quinine harus dimonitor kadar gula darahnya setiap 4-6 jam sekali. Hipoglikemia juga bisa rekuren sehingga monitor kadar gula darah harus konstan dilakukan.

Kadang-kadang hipoglikemia dapat berhubungan dengan laktat asidosis dan pada keadaan seperti ini risiko mortalitas akan sangat meningkat. Hipoglikemia maternal juga dapat menyebabkan gawat janin tanpa ada tanda-tanda yang spesifik.

Imunosupresi

Imunosupresi dalam kehamilan menyebabkan infeksi malaria yang terjadi menjadi lebih sering dan lebih berat. Lebih buruk lagi, infeksi malaria sendiri dapat menekan respon imun.

Perubahan hormonal selama kehamilan menurunkan sintesis imunoglobulin,

Penurunan fungsi sistem retikuloendotelial adalah penyebab imunosupresi dalam kehamilan. Hal ini menyebabkan hilangnya imunitas didapat terhadap malaria sehingga ibu hamil lebih rentan terinfeksi malaria. Infeksi malaria yang diderita lebih berat dengan parasitemia yang tinggi. Pasien juga lebih sering mengalami demam paroksismal dan relaps.

Infeksi sekunder (Infeksi saluran kencing dan pneumonia) dan pneumonia algid (syok septikemia) juga lebih sering terjadi dalam kehamilan karena imunosupresi ini.

Risiko Terhadap Janin

Malaria dalam kehamilan adalah masalah bagi janin. Tingginya demam, insufisiensi plasenta, hipoglikemia, anemia dan komplikasi-komplikasi lain dapat menimbulkan efek buruk terhadap janin. Baik malaria P. vivax dan P. falciparum dapat menimbulkan masalah bagi janin, akan tetapi jenis infeksi P. falciparum lebih serius.(Dilaporkan insidensinya mortalitasnya l5,7% vs 33%) Akibatnya dapat terjadi abortus spontan, persalinan prematur, kematian janin dalam rahim, insufisiensi plasenta, gangguan pertumbuhan janin (kronik/temporer), berat badan lahir rendah dan gawat janin. Selain itu penyebaran infeksi secara transplasental ke janin dapat menyebabkan malaria kongenital.

Malaria kongenital

Malaria kongenital sangat jarang terjadi, diperkirakan timbul pada <5% kehamilan. Barier plasenta dan antibodi Ig G maternal yang menembus plasenta dapat melindungi janin dari keadaan ini. Akan tetapi pada populasi non imun dapat terjadi malaria kongenital, khususnya pada keadaan epidemi malaria. Kadar quinine plasma janin dan klorokuin sekitar l/3 dari kadarnya dalam plasma ibu sehingga kadar subterapeutik ini tidak dapat menyembuhkan infeksi pada janin. Keempat spesies plasmodium dapat menyebabkan malaria kongenital, tetapi yang lebih sering adalah P. malariae. Neonatus dapat menunjukan adanya demam, iritabilitas, masalah minum, hepatosplenomegali, anemia, ikterus dll. Diagnosis dapat ditegakkan dengan melakukan apus darah tebal dari darah umbilikus atau tusukan di tumit, kapan saja dalam satu minggu pascanatal. Diferensial diagnosisnya adalah inkompatibilitas Rh, infeksi CMV, Herpes, Rubella, Toksoplasmosis dan sifilis.

Pregnancy malaria dan intensitas transmisinya

Manifestasi klinik malaria dalam kehamilan berbeda antara daerah dengan transmisi rendah dengan transmisi tinggi karena berbedanya tingkat imunitas. Pada daerah endemik, imunitas yang didapat tinggi sehingga mortalitas jarang terjadi, sering asimtomatik dan juga jarang terjadi parasitemia. Sekuestrasi plasmodium di plasenta dan terjadi plasenta malaria, sedangkan hasil pemeriksaan plasmodium di darah tepi seringkali negatif. Parasitemia yang berat terjadi terutama pada trimester 2 dan 3, anemia dan gangguan integritas plasenta meyebabkan berkurangnya hantaran nutrisi ke janin sehingga menyebabkan berat lahir rendah, abortus, kematian janin dalam rahim, persalinan prematur dan semakin meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada janin. Masalah ini lebih sering terjadi pada kehamilan pertama dan kedua karena kadar parasitemia akan menurun pada kehamilan2 berikutnya. Strategi penanganan malaria pada ibu hamil di area dengan transmisi tinggi adalah terapi intermiten dan pemakaian kelambu berinsektisida.

Di daerah dengan transmisi rendah, masalahnya sangat berbeda. Risiko malaria dalam kehamilan lebih tinggi dan dapat menyebabkan kematian maternal serta abortus spontan pada >60% kasus. Berat lahir rendah dapat terjadi walaupun telah diterapi; namun malaria yang asimtomatik jarang terjadi. Strategi penanganannya adalah pencegahan dengan kemoprofilaksis, deteksi dini dan pengobatan yang adekuat.

Penatalaksanaan Malaria dalam Kehamilan

Ada 3 aspek yang sama pentingnya untuk menangani malaria dalam kehamilan, yaitu:

  1. Pengobatan malaria
  2. Penanganan komplikasi
  3. Penanganan proses persalinan

Terapi Malaria

Terapi malaria dalam kehamilan harus energetik, antisipatif dan seksama(careful)

Energetik : Tidak membuang-buang waktu, lebih baik memperlakukan semua kasus sebagai kasus malaria falciparum, dan memeriksa tingkat keparahan penyakit dengan melihat keadaan umum, pucat, ikterus, tekanan darah, suhu, hemoglobin, hitung parasit, SGPT, bilirubin dan kreatinin serum serta glukosa darah.

Antisipatif : malaria dalam kehamilan dapat tiba-tiba memburuk dan menunjukkan komplikasi yang dramatik. Oleh karena itu harus dilakukan monitoring ketat serta me nilai kemungkinan timbulnya komplikasi pada setiap pemeriksaan/visite rutin.

Seksama : Perubahan fisiologis dalam kehamiklan menimbulkan masalah yang khusus dalam penanganan malaria. Selain itu, sejumlah obat anti malaria merupakan kontraindikasi untuk kehamilan atau dapat menimbulkan efek samping yang berat. Semua faktor tersebut harus selalu dipertimbangkan saat memberikan terapi pada pasien-pasien malaria dengan kehamilan.

  • Pilih obat yang sesuai dengan tingkat keparahan penyakit dan pola sensitivitas di daerah tersebut (terapi empiris)
  • Hindari obat yang menjadi kontra indikasi
  • Hindari kelebihan/kekurangan dosis obat
  • Hindari pemberian cairan yang berlebihan/kurang.
  • Pertahankan asupan kalori yang adekuat.

BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

Malaria merupakan salah satu penyakit yang mudah berkembang di daerah tropis seperti Indonesia.Jenis penyakit ini berhubungan dengan penyebaran melalui hewan yaitu nyamuk yang masih menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia.Malaria bisa menyerang siapa saja, mulai dari anak-anak hingga orang tua. Di beberapa daerah di Indonesia kesadaran akan pentingnya pencegahan malaria masih relatif rendah. Padahal korban yang disebabkan oleh malaria cukup banyak bahkan hingga pada ibu hamil.

Malaria dan kehamilan adalah dua kondisi yang saling mempengaruhi. Perubahan fisiologis dalam kehamilan kehamilan dan perubahan patologis akibat malaria mempunyai efek sinergis terhadap kondisi masing-masing, sehingga semakin menambah masalah baik bagi ibu hamil, janinnya maupun dokter yang menanganinya. P. falciparum dapat menyebabkan keadaan yang memburuk dan dramatis untuk ibu hamil.

PENGARUH MALARIA SELAMA DI BANDUNG

NAMA : SEPTI ANGRAINI

NIM : PO 5140116 081

PRODI : D3 KEBIDANAN

KELAS : 1B

Pengaruh malaria selama ibu hamil di bandung

Malaria merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting dan mengenai hampir setengah dari seluruh penduduk dunia. Kondisi ini dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan apabila mengenai ibu hamil, dapat berakibat buruk terhadap ibu dan janinnya.

Malaria pada ibu hamil dihubungkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk mengalami anemia (Hb < 11g/dl) atau anemia berat (Hb < 7g/dl), mempunyai bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), mengalami kelahiran prematur dan kematian perinatal, semua kondisi ini memberikan kontribusi terhadap tingginya angka kematian ibu dan bayi di daerah endemis malari. Selain itu, janin yang terpapar parasit malaria dapat mengalami infeksi kongenital maupun mengalami modifikasi sistem imun terhadap malaria yang akan mempengaruhi respons imun bayi terhadap malaria di masa 1-2 tahun pertama kehidupannya.

Kondisi ini diperburuk oleh menyebarnya resistensi P. falciparum terhadap klorokuin (Cq) dan sulfadoxine-pyrimethamine (SP) dan P. vivax terhadap klorokui di daerah endemis malaria. Hal ini merupakan tantangan serius bagi efektifitas program penanggulangan malaria pada kehamilan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, artikel ini akan membahas dampak malaria pada kehamilan serta upaya penanggulangannya dikaitkan dengan tingginya angka resistensi parasit terhadap obat anti malaria lama (Cq dan SP). Hasil penelitian kami di Timika (Papua) akan digunakan sebagai contoh pengalaman di Indonesia.

Malaria pada Kehamilan

Diperkirakan diseluruh dunia terdapat 82,6 juta bayi lahir dari ibu yang berisiko terkena malaria falciparum dan/atau malaria vivax, dan 54,4 juta diantaranya terjadi di daerah Asia-Pasifik .Ibu hamil dengan malaria mempunyai risiko terkena anemi dan meninggal. Bayi berat badan lahir rendah (termasuk bayi prematur) merupakan faktor risiko utama kematian bayi di daerah endemis malaria.

2.1. Anemia maternal

Prevalensi anemia sedang dan berat pada ibu hamil dengan malaria di daerah dengan transmisi malaria tinggi berkisar antara 1-20% , angka ini lebih rendah dari angka kejadian anemia (35%) di daerah dengan endemisitas sedang di perbatasan Thailand-Burma. Hal ini dapat dikaitkan dengan tingkat kekebalan yang lebih rendah (dan juga kemungkinan ada penyebab lain dari anemia) dari ibu hamil yang tinggal di daerah tersebut. Anemia berat karena malaria merupakan penyebab kematian maternal yang bermakna pada primigravida.

Selain pada infeksi falciparum, risiko terkena anemia juga lebih tinggi pada ibu dengan malaria vivax dibandingkan dengan ibu yang tidak mengalami malaria. Hal ini dapat dikaitkan dengan kejadian relaps dan infeksi berulang dari infeksi P vivax.

2.2. Efek malaria terhadap janin
Bayi berat lahir rendah( BBLR) merupakan efek buruk akibat malaria dalam kehamilan di semua tingkat endemisitas . Baik malaria falciparum maupun vivax dihubungkan dengan risiko yang lebih tinggi untuk mempunyai bayi dengan berat lahir rendah.

Patogenesis terjadinya efek buruk pada janin dihubungkan dengan insufisiensi plasenta akibat infeksi dan respons inflamasi sistemik. Terjadinya BBLR dihubungkan dengan terdapatnya obstruksi mekanik parasit malaria yang menempel pada reseptor Chondroitin Sulphate A (CSA) di syncytiotrophoblast plasenta yang menyebabkan gangguan sirkulasi dari ibu ke janin dan berdampak terhadap transport oksigen dan nutris]. Selain itu respons inflamasi terhadap malaria juga dapat menyebabkan penurunan berat badan lahir. TNF (tumor necrosis factor) a, IFN (interferon) ?dan IL (interleukin)-8 -T cells helper tipe 1- diketahui dapat menyebabkan vasodilatasi yang akan mempengaruhi hemodinamika utero plasental dan penurunan perfusi darah ke plasenta dan janinnya.

Di daerah dimana infeksi P. falciparum sangat prevalen, kelahiran prematur dan kematian perinatal dihubungkan dengan malaria pada plasenta.Sedangkan di daerah dimana baik P. falciparum dan P. vivax sama-sama prevalen, efek malaria terhadap prematuritas dan kematian perinatal dikaitkan dengan efek sistemik malaria, seperti panas dan anemia.

Penelitian mengenai efek infeksi P. falciparum terhadap kehamilan sudah banyak dilakukan sedangkan data mengenai infeksi P. vivax masih terbatas, sementara itu diseluruh dunia terdapat 92 juta ibu hamil yang hidup didaerah endemis P. vivax dengan 59 juta bayi baru lahir yang berisiko terkena efek samping malaria vivax pada kehamilan. Pendapat terdahulu yang menganggap infeksi P. vivax tidak berbahaya adalah tidak benar, karena P. vivax dalam kehamilan juga dikaitkan dengan peningkatan risiko terkena anemia dan BBLR.



3. Penanggulangan malaria pada kehamilan

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan tiga strategi penanggulangan malaria pada kehamilan yaitu: deteksi dini dan pengobatan malaria yang efektif, pencegahan malaria secara intermiten dengan menggunakan SP dan penggunaan kelambu berinsektisida.

Namun terdapat beberapa hal yang dapat mengurangi efektifitas strategi ini.Pertama, semakin menyebarnya parasit yang resisten terhadap obat malaria lama (klorokuin dan SP). Kedua, diagnosis malaria pada kehamilan adalah sulit, karena parasit malaria dapat menempel semua di plasenta tanpa ditemukan parasit sama sekali di dalam darah tepi .Terakhir, malaria tanpa gejala pada kehamilan dapat menyebabkan efek buruk pada ibu dan janinny].

Selain itu, sebagian besar penelitian mengenai program penanggulangan malaria terutama menyangkut infeksi P. falciparum.Sementara masih sedikit yang diketahui tentang penanggulangan infeksi P. vivax.Perbedaan patogenesis dari kedua infeksi tersebut sangat memungkinkan untuk diperlukan pendekatan yang berbeda.

3.1. Deteksi dini dan pengobatan yang efektif

Deteksi dini dan pemberian obat antimalaria yang efektif akan mengurangi risiko efek buruk malaria pada kehamilan. Metoda pemeriksaan malaria dengan mikroskop merupakan cara yang paling banyak dipakai. Namun cara ini membutuhkan tenaga mikroskopis yang berpengalaman. Sebagai alternatif, Rapid Diagnostic Test (RDT) dapat digunakan pada tempat-tempat dengan sumber daya dan fasilitas yang terbatas.

Di daerah endemis malaria, seringkali semua parasit P. falciparum menempel di plasenta dan tidak ditemukan parasit dalam darah tepi sama sekali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa RDT yang mendeteksi antigen HRP-2 pada darah perifer adalah lebih sensitif untuk mendeteksi malaria falciparum pada plasenta (sensitivitas 80-89%) [29, 32] jika dibandingkan dengan test yang mendeteksi enzim Lactate Dehydrogenase parasit (sensitivitas 38%) . Dipihak lain, test untuk mendeteksi antigen HRP-2 mempunyai keterbatasan dalam mendeteksi jumlah parasit yang rendah (<100 parasites/mL) dengan sensitivitas hanya 88% . Sensitivitas RDT untuk mendeteksi infeksi non falciparum malaria adalah sangat rendah (50-52%) , sehingga mikroskopis masih merupakan pilihan yang terbaik. Namun, perlu diingat bahwa penggunaan RDT tetap lebih baik daripada tidak dilakukan deteksi malaria sama sekali.

Obat antimalaria pada kehamilan

Obat antimalaria yang lama, seperti Cq dan SP mempunyai angka kegagalan yang tinggi untuk mengobati malaria falciparum di Afrika dan di daerah Asia Pasifik. Sementara itu resistensi obat terhadap P. vivax malaria juga sudah menyebar.Meskipun kina masih efektif untuk digunakan sebagai antimalaria namun mengalami masalah dalam kepatuhan berobat, karena harus diminum selama 7 hari, 3 kali sehari.Di samping itu, rasa pahit kina juga menghambat kepatuhan. Di Timika (Papua), angka kegagalan pengobatan malaria dengan menggunakan klorokuin dan SP dan kina tanpa supervisi adalah tinggi dengan angka kegagalan pada hari ke 28 mencapai 65% setelah pengobatan malaria vivax dengan klorokuin dan 48% setelah menggunakan klorokuin dan SP untuk falciparum malaria dan 67% setelah kina tanpa supervisi.

Rekomendasi pengobatan malaria pada kehamilan terutama berdasarkan pendapat ahli ataupun bukti yang terbatas.Hal ini disebabkan karena pada penelitian obat, ibu hamil selalu dieksklusi.Sementara itu, karena kondisi kehamilannya, sangat mungkin terdapat modifikasi dari farmakokinetik obat antimalaria sehingga dibutuhkan penyesuaian dosis.Oleh sebab itu data klinis dan farmakokinetik obat antimalaria pada ibu hamil amat sangat diperlukan.Walaupun demikian mengingat dampak buruk malaria pada kehamilan, WHO tetap merekomendasikan penggunaan terapi kombinasi artemisinin (Artemisinin combination therapy) sebagai lini pertama untuk pengobatan P. falciparum dan P. vivax yang telah resisten klorokuin pada ibu hamil trimester kedua dan tiga.

3.2 Kelambu berinsektisida

Penggunaan kelambu berinsekstisida pada ibu hamil di Afrika adalah efektif untuk mengurangi kejadian malaria pada plasenta, malaria perifer pada semua kehamilan serta penurunan angka kejadian BBLR, lahir mati dan keguguran pada kehamilan 1 sampai 4 saja. Data efikasi kelambu berinsektisida di Asia (daerah dengan transmisi P. falciparum dan P. vivax) masih sangat terbatas.Penggunaan kelambu berinsektisida pada ibu hamil di Asia dihubungkan dengan penurunan risiko mengalami lahir mati atau keguguran pada semua kehamilan namun tidak berefek terhadap BBLR.

3.3. Pencegahan malaria secara intermiten

Pencegahan malaria secara intermiten adalah memberikan obat antimalaria dengan dosis kuratif tanpa melalui konfirmasi dan diberikan dengan interval yang telah ditentukan.

Pemberian obat pencegahan malaria dapat dilakukan secara mingguan ataupun intermittent. Di perbatasan Thailand dan Burma, profilaksis malaria mingguan pada ibu hamil dengan menggunakan Mefloquine yang dimulai dalam masa kehamilan 20 minggu adalah efektif untuk mencegah malaria falciparum dan vivax. Hasil penelitian di Kenya menunjukkan bahwa efektifitas pemberian SP secara mingguan ataupun intermitent adalah sama efektif nya untuk mengurangi kejadian malaria plasenta. Oleh sebab itu untuk alasan kepraktisan WHO merekomendasikan penggunaan satu dosis SP pada kehamilan trimester dua dan satu dosis lagi pada awal trimester ketiga untuk semua ibu hamil tanpa melihat paritas.

Dalam kurun waktu 10 tahun setelah penggunaan pencegahan malaria dengan menggunakan SP ditetapkan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa pencegahan dengan SP adalah efektif untuk mengurangi risiko malaria plasenta dan/atau BBLR.Namun, dengan tingginya resistensi terhadap SP, maka penggunaan SP dapat sangat mengurangi efektifitas dari program.Oleh sebab itu perlu untuk segera dicari obat antimalaria alternatif yang dapat menggantikan SP.

4. Skrining malaria pada kehamilan dan pengobatan yang efektif

Melihat hal tersebut diatas, malaria skrining atau deteksi dini malaria pada kehamilan tanpa melihat gejala dan pemberian obat yang efektif merupakan pilihan terbaik yang ada saat ini. Skrining malaria mingguan telah diterapkan di kamp pengungsi di perbatasan Thailand dan Burma dan terbukti dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat malaria dalam kehamilan. Namun pencegahan mingguan dianggap kurang relevan dengan kebanyakan kondisi di daerah endemis malaria lain, sehingga perlu dipikirkan untuk mencari interval pemeriksaan yang paling efektif. Berikut adalah pengalaman penanganan malaria dalam kehamilan di Timika (Papua) dengan metode skrining malaria dan pengobatan malaria yang efektif bagi semua ibu hamil yang akan melahirkan di rumah sakit.

Malaria dalam kehamilan di Timika: Peran deteksi dini dan pengobatan yang efektif

Malaria pada ibu hamil dan bayi merupakan masalah kesehatan di Timika, Papua. Baik ibu hamil dengan malaria falciparum maupun vivax, semuanya dihubungkan dengan efek buruk pada kehamilan.Mulai bulan April 2004 sampai dengan September 2008, semua ibu hamil yang masuk dibagian kebidanan RS Mitra Masyarakat (RSMM) diambil data klinisnya serta diperiksa malaria dalam darahnya tanpa melihat gejala.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi malaria pada ibu hamil dan melahirkan adalah tinggi (18%, 808/4419) dan 60% disebabkan oleh P. falciparum, 32% P. vivax, 4,5% infeksi campuran dan 3,5% lain-lain. Dari ibu hamil tersebut, 70% diantaranya tidak mempunyai gejala sama sekali. Primigravida mempunyai risiko lebih tinggi untuk terkena malaria (OR=1,3 [95%CI, 1,2-1,6],p<0,001), namun multigravida pun mempunyai risiko yang hampir sama untuk terkena malaria.

Malaria pada kehamilan, walaupun tanpa gejala, dihubungkan dengan efek buruk pada ibu hamil dan juga janinya. Malaria falciparum merupakan faktor risiko untuk terjadinya anemia berat (OR=2,8 [95%CI, 2,1-3,7], p<0,0001), sedangkan malaria vivax dihubungkan dengan anemia sedang (OR=1,5 [95%CI, 1,1-2,0], p=0,006 ). Baik infeksi P. falciparum (OR=2 [95%CI, 1,6-2,6], p<0.001) maupun P. vivax (OR=1,5 [95%CI, 1,1-2,1], p=0,01) dihubungkan dengan risiko mempunyai bayi dengan berat lahir rendah. Malaria dalam kehamilan merupakan faktor risiko independen untuk terjadinya kelahiran prematur (AOR=1,4 [(95%CI, 1,1-1,7], p=0,005). Infeksi P. falciparum dihubungkan dengan risiko tinggi untuk mengalami kematian perinatal (OR=2.9 [95%CI: 1.9-4.2], p<0.0001), demikian juga ibu dengan anemia berat (OR=2.6 [95%CI,1.7-3.8], p<0.0001). Kejadian malaria kongenital adalah 1% (32/4268) dari kelahiran hidup.

Masalah resistensi obat yang tinggi di Timika, juga merupakan ancaman bagi kondisi kesehatan ibu hamil dengan malaria.Sampai bulan Maret 2006, pengobatan malaria pada ibu pada kehamilan trimester 2 dan 3 di Timika masih menggunakan klorokuin dan kina. Berdasarkan hasil penelitian efikasi obat malaria baru yang dilakukan di Timika, maka mulai Maret 2006 protokol pengobatan malaria lini pertama diubah menjadi dihydroartemisinin piperaquine (DHP, salah satu bentuk ACT) yang terbukti sangat efektif untuk mengobati baik malaria falciparum maupun vivax . Mengingat terbatasnya pilihan obat antimalaria, DHP juga direkomendasikan untuk pengobatan malaria tanpa komplikasi pada ibu hamil trimester ke dua dan tiga kehamilan. Sebagai informasi, Timika merupakan tempat yang pertama di dunia yang menggunakan DHP sebagai lini pertama pengobatan pada ibu hamil trimester 2 dan 3.

Selama periode observasi, kami mempunyai 1160 data pengobatan DHP terhadap ibu hamil dengan malaria, yang mana 765 ibu hamil mendapatkan pengobatan malaria saat dirawat di RSMM dan 395 ibu hamil mempunyai riwayat pengobatan malaria dengan DHP selama kehamilannya yang sekarang. Dari hasil pengamatan kami, penggunaan DHP tidak dihubungkan dengan peningkatan risiko efek samping yang merugikan kehamilan.

Pada ibu hamil yang mendapatkan DHP saat dirawat di RSMM, tidak didapatkan kematian neonatus pada 3 hari pertama kehidupan (0/107) sementara angka kematian bayi pada ibu hamil yang mendapatkan kina oral tanpa supervisi adalah 6,5% (3/46), p=0,026. Selain itu, tidak didapatkan peningkatan risiko terjadinya malformasi kongenital pada ibu dengan riwayat pengobatan DHP (IR=0 [95%CI, 0-20]) selama kehamilan dibandingkan dengan ibu dengan riwayat pengobatan dengan kina atau klorokuin (IR=15 [95%CI, 0,4-80]), p=0,515.

Ibu dengan riwayat pengobatan malaria dengan kina mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami malaria saat melahirkan (OR=2,7 [95%CI 1,94-3,76], p<0,001,) kematian perinatal (OR=3,25 [95%CI 1,20-8,78], p=0,020) dan malaria kongenital (OR=15,88 [95%CI, 2,19-324,32], p=0,001) jika dibandingkan dengan ibu dengan riwayat pengobatan dengan DHP selama kehamilan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

resume sosioogi hukum

 Sosiologi Hukum Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya secara ...